—dengan segenap rindu.
Lihatlah mereka! Beberapa saat yang lalu mereka berisik sekali seperti anak perempuan yang menjerit-jerit karena kecoak. Sekarang jeritan itu, yang sebelumnya bahkan membuatmu harus berteriak memanggil seseorang di dekatmu, sudah berganti dengan bunyi mulut-mulut berdecak. Sebenarnya aku masih saja heran bagaimana babi bisa makan saat hidungnya sedang mengaduk-aduk makanan. Apa mereka tidak kesulitan bernapas? Lipo, anjingku yang berbulu coklat tidaklah demikian. Hidungnya bersih. Tapi babi-babi ini? Nah, makan ampasmu!
Tidak boleh langsung menuangkan seluruhnya, perintah Mamakku. Harus sedikit demi sedikit agar mereka tidak hanya mencari potongan-potongan kecil daging ayam yang mereka suka saja. Kenapa tidak? Aku juga suka hanya makan bagian tertentu dari makananku. Misalnya ikan: aku tak suka bagian kepala. Tapi Mamakku memang perempuan rewel. Katanya, selain memberi makan, aku juga harus memandikan mereka. Empat ekor babi betina dewasa, dua sedang hamil tua—Mamakku bilang mungkin akan melahirkan dalam beberapa hari ke depan. Lalu enam ekor lagi yang berumur 4 bulan, juga betina. Terakhir, seekor pejantan yang disebut dalu. Ia tinggal sendiri—bagai peliharaan kesayangan—di kandang paling ujung dekat penampungan kotoran. Aku tak tahu apakah babi punya sifat iri hati.
Aku bisa paham kalau Mamakku membutuhkan bantuan. Ia akan pulang dari ladang ketika matahari sudah tenggalam di ufuk Barat. Sebentar lagi. Aku bisa melihatnya nanti saat aku pulang dari sumur bor: setelah membersihkan badanku, terutama tangan karena bau makanan babi itu susah sekali hilang. Namun sebagai anak kecil, aku tentu lebih ingin bermain daripada apa pun. Sore ini aku tergoda meninggalkan pekerjaanku sebab teriakan-teriakan yang mengumandang ke langit terdengar seperti memanggil-manggil namaku. Kira-kira satu jam sebelumnya saat aku sedang menyirami tubuh gemuk babi-babi ini. Dari dalam kandang, aku bisa mendengar suara Gia dan Opta—dua sahabat terbaikku—yang paling aku hapal daripada suara anak-anak lain. Sepertinya itu karena gol.
Malam hari, sesudah tandas makananku—biasanya adik perempuanku, Dian yang membereskan piring-piring—aku bergegas ke rumah Gia. Aku berlari tanpa mengenakan sandal sambil mengalungkan sarungku. Bulan penuh bersinar terang di langit gelap Lau Rempak. Biasanya anak-anak bermain di dekat tiang listrik, yang ada lampunya, di samping rumah Gia. Tak butuh satu menit untuk sampai ke sana jika aku berlari. Lalu aku melihat anak-anak membentuk satu baris, berjalan mengelilingi dua orang anak lain yang berpegangan tangan, membentuk semacam pintu gerbang. Tam-Tam Buku. Gia ada di barisan belakang: ekor ular. Aku mengikut di belakangnya, meletakkan kedua tanganku di pundaknya, berjalan sambil bernyanyi:
Tam-tam buku, seleret tiang paku. Mata bendil mata satu, anak belakang tangkap satu.
“Lawan siapa tadi?” Aku agak berteriak karena suara nyanyian itu sangat riuh. Seperti babi-babi yang menjerit minta makan saja, pikirku.
“Anak Lepar!” balas Gia.
Usai Tam-Tam Buku, permainan dilanjutkan dengan tarik tambang. Tambangnya adalah Hendri dan Beno yang saling berpegangan kuat-kuat pada satu tangan sementara yang lain menarik tangan mereka yang satunya lagi. Tim yang mampu menarik lawannya melewati garis adalah pemenangnya. Permainan tenaga ini selalu diiringi gelak tawa. Aku sudah memainkannya sejak kelas satu SD. Setelah Tam-Tam Buku dan Tarik Tambang, biasanya kami akan memainkan Jer. Pijar kuning lampu listrik memperlihatkan kebahagiaan kami anak-anak Lau Rempak. Ternyata kekuatan Bulan dan Bintang seimbang! Beno sebagai Bulan, mengerahkan seluruh tenaganya seperti wili—babi hutan—yang ganas agar bisa menarik Hendri dan anak-anak pendukungnya. Kaki Hendri terseret mendekati garis. “Tarik! Tarik!” teriaknya minta tolong agar teman-temannya mengerahkan seluruh tenaga: menahan tarikan Beno. Ditandai dengan jatuhnya Budi di belakang Hendri, tim Bintang pun kehilangan keseimbangan. Budi terpeleset karena keringnya tanah berpasir tempatnya berpijak yang lalu membuat jatuh anak di sampingnya. Dengan satu kali hentakan, Hendri pun oleng. Beno menyentakkan pegangannya dan anak-anak di belakang Hendri ikut tertarik lalu tumbang seperti pohon pisang. Kami tim Bulan bersorak. Melompat setinggi-tingginya ke udara. Keringat telah bercampur debu di kulit dan pakaian kami.
Sambil beristirahat di teras rumah Gia, aku bertanya-tanya lagi tentang pertandingan sepakbola yang kulewatkan tadi sore: “Taruhan?”
“Iya. Berapa kali tadi, Gia?” balas Iwan yang sudah melepaskan kaosnya. Ia tidak menggigil karena sudah terbiasa.
“Tiga. Pertama taruhan empat ribu. Terus lipat kata mereka, nggak terima karena kalah. Hahaha. Delapan ribu. Skornya 3-2!” Gia bercerita sambil minum. “Yang terakhir juga lipat awalnya. Tapi kawan-kawan bilang jangan mau. Lima ribu aja. Biar kalau kalah masih ada sisanya buat beli es. Ternyata menang juga! Hahahaha!”
Kalau saja aku ikut bermain tadi.
“Capek! Kau sih nggak ikut!” kata Opta. “Pas yang terakhir itu, aku udah mau mampus. Lama pula baru bisa bikin gol. Iwan malah main-main. Dibawanya entah ke mana-mana bola itu.”
Iwan terkekeh: “Tapi kan kita menang!”
“Tapi kan bisa lebih cepat,” timpal Opta lagi.
“Pokoknya kita menang!” sahut Rukun. Ia penjaga gawang hebat.
“Mereka nggak terima. Siapa tadi itu namanya, Wan?” tanya Gia yang dijawab serentak oleh teman-teman yang lain. “Ya, Pardi. Dia nantang kita hari Rabu. Tanding di Lepar, katanya.”
Aku ingin pergi. Tapi itu artinya aku harus meninggalkan babi-babiku. Tidak mungkin memberi mereka makan sejak awal, ketika masih siang, agar sorenya aku bisa pergi ke Lepar. Namun ini adalah pertandingan besar. Kami akan bertandang ke kampung tetangga. Aku merasa itu penting untuk didahulukan.
“Kau ikutlah, Yung. Biar kita kalahkan lagi mereka. Iya kan, Jon?” kata Opta sambil menepuk-nepuk pundak Jonatan yang tak banyak bicara. “Tadi dia bikin satu gol. Sendirian!” lanjutnya dan membuat Jonatan bangga. Ia hebat: larinya lebih cepat dari kami semua.
Lalu kami membicarakan formasi dan strategi seperti tim sepakbola sungguhan. Rukun sebagai kiper. Aku dan Iwan jadi bek. Gia dan Opta di tengah membantu Jonatan yang di depan. Itu formasi yang bagus! Lagi, masih ada Daud, Agus, dan Soel sebagai pemain cadangan. Anak-anak lain juga pasti akan datang sebagai pendukung—sekaligus persiapan kalau-kalau lawan kami memaksa bermain sebelas lawan sebelas. Itu jarang, bahkan tidak pernah kami lakukan karena lapangan gereja tidak cukup luas. Apalagi lapangan sekolah. Bahkan tujuh lawan tujuh pun sudah terlalu sesak. Jumlah yang pas adalah dua belas orang: enam lawan enam.
Aku membayangkan seperti apa serunya pertandingan Rabu lusa. Namun, tidak mengkhayalkan itu akan mudah. Lagipula, aku harus lebih dulu memikirkan cara agar Andre mau menggantikanku memberi makan babi-babi itu.
“Mobil-mobilan?” kataku sambil mengamati Andre sedang menghitung lagi jumlah kelerengnya di lantai.
“Kau mau ke Lepar kan?”
“Nggak!” buru-buru aku menyela.
“Redi mau ke sana. Sama Ato. Aku juga mau.”
“Kau kan nggak ikut main bola.”
“Aku mau nonton!”
“Jangan! Kau gantikan aku ngasih makan babi aja. Aku siapkan dulu nanti makanannya biar kau udah gampang. Tinggal tuang. Mau ya?”
Andre diam. Ia masih 10 tahun—dua tahun di bawahku. Sesungguhnya belum bisa diandalkan meski sesekali ia pernah membantu memberi makan babi. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak mungkin memberi tahu Mamakku kalau Rabu besok aku tidak bisa melakukan pekerjaan itu karena main bola ke Lepar. Memberi tahunya sama saja memasukkan diri ke dalam kurungan.
“Aku buatkan juga layang-layang deh,” kataku menaikkan tawaran. Andre berhenti menghitung kelerengnya dan lantas mengiyakan. “Tapi jangan bilang-bilang Mamak, ya?” kataku sambil tersenyum.
Hari Rabu sepulang sekolah, aku sudah berkumpul dengan anak-anak lain yang akan berangkat ke Lepar. Kampung kami hanya dipisahkan sungai Gerpang, yang siputnya masih banyak, dengan kampung yang dihuni banyak orang Jawa itu. Kami akan berjalan kaki ke sana, memotong jalan dari ladang Lamen lalu muncul di lapangan sepakbola beberapa menit setelahnya. Kupikir semua anak laki-laki seusiaku sudah pernah ke Lepar. Jika Tahun Baru, orang Lepar akan bertandang ke Lau Rempak. Makan kue. Pada waktu Lebaran, gantian orang Lau Rempak yang ke sana. Makan kue juga. Semacam tradisi. Jika ada pesta-pesta rakyat di Lau Rempak, selalu ada undangan untuk kampung Lepar. Begitu juga sebaliknya. Kendatipun di kalangan anak-anak belum begitu saling mengenal, tidak halnya dengan kalangan orang tua. Mungkin karena ada ladang-ladang kami yang bersebelahan. Beberapa orang Lepar bekerja di ladang-ladang kami. Aku sempat berpikir lebih enak jadi anak Lepar: mereka tidak memelihara babi.
Pardi memimpin teman-temannya menyambut kami. Saling berjabat tangan seolah ini pertandingan Piala Dunia, tawa riang kami mengisi lapangan. Aku sudah tak sabar ingin menendang bola. Karena mereka sebagai tuan rumah, maka mereka yang menyediakannya. Ternyata ada tiga sekaligus! Benda itu berputar waktu aku menendangnya melambung ke arah Rukun. Kami sedang melakukan pemanasan. Rukun melompat menangkapnya: berlagak menjatuhkan diri di atas rumput. Seperti di TV. Lalu ia bangkit. “Enak kalau jatuh di sini. Nggak sakit!” cengirnya. Hal yang jangan pernah kaulakukan di lapangan gereja kami kalau tak mau kakimu lecet.
Opta memegang beberapa lembar uang seribuan rupiah dengan gaya seorang kernet angkutan umum. Ia sedang berbicara dengan Pardi. Beberapa menit setelahnya ia menyuruh kami berkumpul membentuk lingkaran, agak jauh dari Pardi dan teman-temannya melakukan pemanasan. Kata Opta: “Lima ribu!”
“Asyik!” seringai Iwan.
“Kau jaga Pardi, Wan. Jangan main-main!” tukas Jonatan.
“Kami akan jaga dia!” aku berkata dengan tekad penuh. “Jangan rakus kalau dapat bola, Wan!” dan membubuhkan.
“Gampang! Bek mereka, itu tuh, namanya Slamet sama Dodi!” Opta menunjuk dua anak yang sedang melakukan push up bersamaan. “Badannya aja besar. Nendang bola entah ke mana-mana. Hahaha!”
“Tapi kata orang, Musim itu jago ngocek bola, Ta. Kemarin dia nggak datang,” tunjuk Gia dengan gerakan wajahnya. Kami bisa melihat anak lain yang Gia bilang bernama Musim. Ia punya rambut yang hitam legam. Lebih hitam dari rambut siapa pun.
“Kalau dikeroyok, jago pun bakal kalah!” timpal Opta meyakinkan kami.
Setengah lapangan. Enam lawan enam. Rancangan strategi yang sudah kami bahas sebelumnya berputar-putar di kepalaku. Bagaimana sekarang? Apakah teman-temanku juga memikirkan hal yang sama? Atau..? Oke. Sudah mantab di posisi kiri, aku melihat Iwan yang berdiri sejajar denganku. Ia sedang memperhatikan Rukun sedang meludahi masing-masing tiang kayu gawangnya. “Udah kutabasi!” kata Rukun seolah ia dukun yang sedang memantrai gawang.
Iwan tak berhenti mengejeknya karena itu. “Kau panggil Begu Ganjang sekalian! Suruh dia tidur di situ!” katanya sambil terkekeh. Aku juga jadi tertawa dibuatnya.
Di depanku ada Gia dan Opta. Jonatan berada di depan, agak di tengah sedang menimang-nimang bola. Menunggu lawan kami bersiap-siap. Anak-anak lain, dari kampungku dan Lepar, bergerombol di pinggir lapangan. Namun hanya ada dua orang di samping gawang Rukun: Daud dan Agus yang siap menggantikan salah satu dari kami bila kelelahan. Soel tidak bisa datang. Mamaknya tahu dan melarangnya pergi. Namun, kupikir itu karena Soel tidak bisa membujuk adiknya sendiri.
Di sini, jangan kaget. Aturannya sedikit berbeda: tim pertama yang bisa mencetak tiga gol adalah pemenang.
Lalu pertandingan dimulai. Jonatan yang resmi menendang pertama kali bola di pertandingan ini. Ia menggiring bola ke daerah lawan. Aku dan Iwan tetap di daerah pertahanan kami. Kulihat Opta dibayangi Musim. Anak itu berhasil mencuri bola yang dioper Jonatan. Ternyata Musim luar biasa! Bola seperti menempel di kakinya. “Jaga kawannya! Jangan kawannya!” teriak Opta. Gia! Anak itu cekatan melirik kanan dan kiri, melihat pemain lawan yang kemungkinan akan diumpan oleh Musim. Bola terpental. Jonatan berniat mencurinya. Aku berlomba dengan Pardi mengejar bola liar itu.
“Jaga tempatmu!” teriakku pada Iwan keburu ia ikut membantu. Aku tahu Pardi bisa mendapatkan bola itu lebih dulu. Tapi aku meluncur dan menghindarkan bola dari jangkauanya. Bola berhenti dengan jinak di kaki Gia. Ia mengumpan langsung ke depan: melambung ke udara. Jonatan berlari mengejar. Terlalu cepat. Terlalu jauh. Slamet yang mendapatkannya. Jonatan mengumpat: “Bisa mampus aku kalau umpanmu begitu!”
“Hahaha! Jangan buru-buru, Gia. Masih pertandingan pertama!” kata Opta berjalan mundur kembali ke posisinya.
Bola di kaki Slamet. Jonatan berusaha merebutnya sebelum ia menendangnya ke tengah lapangan. Ia dibuat berputar-putar oleh Slamet dan Musim di tengah. Gia maju membantu. Menyadari hal itu, Musim cekatan menipunya dengan berkelit lalu mengumpan datar pada Pardi. Puji Tuhan ada Opta di sisi kami! Memotong laju bola, ia menggiringnya merangsek ke daerah lawan. Gia mengatur jarak—Pardi mendekatinya—sementara Jonatan menjauhkan diri dari kawalan Slamet dan Dodi.
“Maju kau!” hardik Rukun di belakangku. Tidak bisa! Kusuruh Iwan ikut membantu Opta. Bola dioper pada Iwan. Pardi menghadang. Iwan berlagak akan menendang dan membuat Pardi ikut melompat. Namun bola datang padaku. Aku berlari sejauh mungkin ke tengah. Musim menghalang-halangi. Tidak ada ruang: Jonatan terlalu jauh dan Gia hilang di balik tubuh Dodi. Tersisa Opta yang masih di tengah. Ia mendekatiku sebelum Musim menyadarinya. Bola tidak bisa dialirkan. Kami hanya berputar-putar, mengoper ke sana ke mari, menguasai bola selama mungkin. “Ayo bikin gol!” Rukun berteriak setengah mengumpat.
Namun terkadang, justru tim yang jarang mendapatkan bola yang bisa mencetak gol. Dan mungkin karena kali ini bermain di kampung sendiri, Pardi dan teman-temannya punya semangat berkali lipat dibandingkan kami. Tabas-tabas—mantra—Rukun tidak ampuh dan hasilnya menyakitkan: kami tak mampu mencetak gol. Aku masih terengah-engah sambil menatap Pardi dan timnya bersorak penuh kemenangan. Sedangkan kami berenam dan dua pemain pengganti duduk berkumpul di belakang gawang.
“Kau jangan bawa sendiri, Jon!” nasihat Agus. “Kasih ke kawan juga sesekali.”
“Kan udah kukasih!” Jonatan membela diri.
“Tadi kau jarang ngoper. Gia sampai teriak-teriak minta bola.”
“Aku udah mau ngoper tadi itu,” dengus Jonatan tak mau kalah.
“Habis ini aku yang main. Kau ganti dulu ya, Ta. Gia juga. Kalian udah capek sampai nggak kuat lagi ngejar Musim. Biar aku sama Daud masuk.”
Aku sendiri masih kuat. Iwan juga meski kami telah mati-matian berjibaku menghadang Musim dan Pardi tadi. Lagipula, baik Daud maupun Agus tak mau menjadi bek. Rasanya semua anak ingin menjadi penyerang agar bisa membuat gol. Bahkan Rukun juga. Aku menatapnya yang sedang memijat bahunya sendiri. Ia menggerakkan matanya pertanda semua oke. Diam-diam aku berharap ia tidak kelelahan hingga harus diganti. Kami tidak punya kiper cadangan.
Pertandingan kedua harganya sudah berbeda. Kali ini sepuluh ribu. Itu artinya “tak mengapa kakimu lecet atau terluka karena uang taruhannya cukup untuk membeli minuman dan plester”. Kami masih bermain dengan penuh semangat. Bahkan berlebih karena sebelumnya kami kalah. Dengan masuknya Agus dan Daud, kami punya tenaga baru. Sedangkan lawan kami tidak mengganti satu pun pemainnya.
Bola menggelinding di atas rumput, melayang ke udara, memantul, berpindah dari kaki ke kaki kami. Pertandingan kedua berjalan sangat sengit tapi lebih cepat. Kami begitu ingin segera mencetak gol dan tidak memberikan mereka kesempatan untuk membalas. Namun, Rukun jugalah yang lebih dulu memungut dan menendang bola dengan kesal ke tengah lapangan. “Jangan main-main, Wan!” katanya bernada marah. Sebelumnya Iwan membiarkan Pardi leluasa mencari posisi saat aku membayangi Musim. Lalu gol. Diprotes begitu, Iwan diam saja. Tampaknya ia sudah mulai kehabisan tenaga. Aku menepuk punggungnya saat ia membungkuk kelelahan.
“Masih sanggup kau?” tanyaku. Ia bangkit dan mengangguk cepat. Berkernyit seperti menahan sakit.
Terlecut dengan gol itu, Daud dan Agus membuat pembalasan. Slamet dan Dodi, keduanya dibuat linglung dengan operan-operan cantik. Pada sentuhan akhir saat satu lagi pemain lawan—yang diteriaki Pardi dengan nama Imam—terlambat membantu Dodi dan Slamet, Agus berhasil membuat gol. Opta dan Gia sampai melompat ke udara karena gol pertama kami itu. Semangat, semangat, teriaknya dari pinggir lapangan. Aku memandang Iwan dan Rukun bergantian.
“Iya kek gitu mainnya! Bikin gol!” kata Rukun.
“Dua gol lagi!” Iwan berseru membuat corong dengan tangannya.
Kedudukan berbalik jadi 2-1 setelah Daud membuat gol kedua. Para pendukung kami bersorak saat kiper lawan terkulai lemas karena bola masuk ke gawangnya. Namun entah bagaimana sesaat kemudian Daud berjalan keluar lapangan. Katanya jempolnya terkilir sewaktu membuat gol itu. Berjalan agak pincang—dipapah Agus—aku melihat Daud sampai mengatupkan gigi. Aku merasakan semacam ketakutan merasukiku.
Opta sempat menyuruh Gia yang menggantikan Daud. Namun akhirnya ia sendiri yang masuk. Saat ia berjalan ke tengah lapangan, saat itulah aku melihat Andre. Berada di antara para penonton yang berdiri di pinggir lapangan. Sontak aku berlari mendekatinya: “Ngapain kau di sini?”
“Aku mau nonton!” jawabnya setengah berteriak tanpa merasa bersalah.
“Terus gimana ba—”
“Yung! Yuung! Ayok, main! Ngapain kau di situ?” Opta memanggil.
Konsentrasiku benar-benar buyar. Mustahil Andre sudah memberi makan babi-babi itu. Dan sejak kapan dia ada di sini? Dan sekarang aku benar-benar takut. Bukan takut kalah. Tapi Mamakku akan pulang dari ladang, melongok ke kandang, dan melihat babi-babi itu belum makan. Mereka akan ribut karena lapar. Aku sudah membayangkan Mamakku marah-marah, mencubiti pahaku. Dari mana saja kau? Apa kerjamu?
“Yuuung! Jaga Musim!” Aku berlari mengejar.
Nggak bisa ya kau disuruh ngasih makan babi aja, ha?
“Mundur! Mundur!” kudengar teriakan Rukun. Panik.
Aku sudah nyuruh Andre yang ngasih makan, Mak... Ah, kenapa kau tidak bisa membantuku sekali ini saja, Ndre?
Kau yang kusuruh, terus kausuruh lagi adekmu, begitu?!
“Tekel! Tekel saja!”
Tapi aku tidak bermain bola setiap sore! Baru sekali ini saja. Aku anak-anak. Aku lebih ingin bermain bola daripada memberi makan babi.
...dan begitulah kami kecolongan lagi! Aku terengah, menopang tubuhku dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Tetap berdiri. Kulihat Opta berjalan gontai ke arah Rukun dan bertanya: “Seriuslah, Kun!” Aku bisa mendengar nada kecewa.
“Iwan sama Kiyung itu yang nggak serius! Kalau mereka nggak serius, aku ya jadi malaslah!”
Mendengar itu, Opta melirik ke arahku dan Iwan. Aku tersenyum hambar sementara Iwan tak peduli. Ia terlihat letih sekali. “Aku mau ganti,” cetusnya. “Nggak kuat lagi aku.” Tanpa persetujuan Opta ia berjalan keluar lapangan. Merebahkan dirinya di belakang gawang. Opta mengalihkan pandangan kepada Gia yang langsung bangkit dari duduknya.
“Gimana, Ta?” tanyanya.
“Di tengah aja sama Agus. Biar aku sama Kiyung aja yang jadi bek.”
Gia menggeleng. “Nggak kuat lagi napasku...”
“Makanya kau jangan merokok!” celetuk Iwan yang beristirahat menghadap ke langit. Aku terpana. Jonatan datang menjemput bola dari Rukun. Sementara itu Musim masih merayakan gol barusan bersama tim dan pendukungnya.
“Kau merokok?” tanyaku pada Gia.
“Baru sekali,” ia nyengir.
“Masih SD, merokok? Pantaslah nggak kuat napasmu!” kata Opta agak membentak.
“Jonatan juga merokok.” Gia melemparkan masalah ke orang lain.
“Pusing kepalaku. Pantas cepat habis napas kalian,” timpal Agus memahami.
“Kalau aku masih kuat, Gus!” balas Jonatan tidak terima. “Walau dadaku jadi cepat panas.”
Kami semua mendadak diam. Namun tidak mungkin membiarkan lawan menunggu. “Ayo!” teriak Pardi mendekati. Maka kami segera kembali pada posisi masing-masing. Kini aku dan Opta di belakang, Agus dan Gia di tengah, dan Jonatan tetap depan. Bola bergulir lagi. Menggelinding, dioper ke sana ke mari. Sambil berlari-lari kecil di areaku, aku mencoba mengembalikan konsentrasi. Babi-babi itu... Mamakku... Aku masih membayangkan akan dimarahi begitu sampai di rumah. Andre...
Disaksikan oleh teman-teman sendiri, memang bisa jadi penambah semangat. Tapi bukannya beruntung, Rukun malah terkilir di bahunya saat menyelamatkan gawang dari tendangan Musim. Ia terjatuh. Meringis. Tidak bisa tidak, seseorang harus menggantikannya. Iwan tidak mau bermain lagi. Ia terlalu lelah—dan tidak ada pemain cadangan yang tersisa. Namun entah bagaimana ide itu bermula; bukannya bermain dengan lima orang, Opta malah memanggil Andre untuk jadi kiper kami. Aku protes: “Jangan, Andre, Ta! Yang lain saja.”
“Aku jadi kiper. Dia penyerang,” kata Opta memutuskan.
“Dia nggak tahu main bola, Ta!”
“Makanya jadi penyerang. Biar ada aja orang di depan. Lagian mereka kan nggak tahu.”
“Yang lain ajalah. Itu ada Redi, Ato, sama Sahat. Mereka aja pilih. Jangan Andre!” aku tetap tidak setuju dengan idenya itu.
“Mereka itu kecil-kecil badannya. Kalau Andre kan agak tinggi. Biar Slamet sama Dodi ngira dia jago dan ngejaga terus. Daripada kita mainnya lima orang? Sama aja kita dikerjai sama mereka.”
Aku kehabisan kata-kata.
“Langsung tendang aja ke gawang mereka!” perintah Opta pada Andre. Ia terlihat senang sekali dan berlari menuju posnya di depan. Aku tak mengatakan apa-apa padanya. Selama pertandingan mencari satu gol penentu kemenangan itu, ia berlari ke sana ke mari. Seperti yang sudah diperintah Opta, begitu bola di kakinya, ia mengincar gawang lawan. Satu dua tembakannya lumayan. Aku jadi merasa bangga sesaat namun langsung kubuang pikiran itu karena aku masih kesal padanya. Gia dan Jonatan malah jadi kesal karena operan yang mereka berikan pada Andre dimaksudkan untuk dioper kembali.
“Kek mana mainnya Andre ini? Bodoh kali!” umpat Jonatan.
“Jangan makan sendiri, Ndre!” tandas Gia pula.
Mendengarnya aku tidak terima: “Kalian jangan gitu. Dia kan nggak kayak kalian. Terus, Opta yang minta dia main.” Gia dan Jonatan sudah tidak protes lagi. Aku sadar bahwa pembelaanku lebih karena Andre adalah adikku.
Langit sudah semakin merah. Masing-masing tim sudah kelelahan mengejar kemenangan. Jika ada satu orang yang masih begitu semangat, ia adalah Andre. Rasa-rasanya kakinya ringan sekali, berlari mengejar bola yang dioper padanya, merebut bola dari bek lawan walau tak pernah berhasil. Tendangannya mengundang umpatan yang samar-samar kudengar dari penonton. Aku juga ikut kesal namun aku tak lagi menggubrisnya.
Gol yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tercipta. Berawal dari kebosanan yang melanda Opta di garis gawang. “Sudah mulai malam,” katanya. Lalu menyuruhku membantu serangan. Itu artinya tak mengapa bila kami kalah. Yang penting pertandingan ini bisa selesai. Gia mengoper bola padaku saat ia kewalahan dibayangi Musim. Aku menggiring bola ke kiri. Naik. “Oper, Yung! Sini, Yung!” kudengar teriakan Jonatan. Namun bola kukirim pada Agus yang berada di tengah. Ia yang mengumpan jauh pada Jonatan. Dengan tenaga yang tersisa, aku bisa melihat anak itu berlari sampai lidahnya menjulur keluar seperti Lipo. Ia menggiring bola, Slamet menghadang di depan, Musim menyusulnya dari belakang.
“Oper, Jon! Oper, Jon!” Agus meneriakinya.
Namun Jonatan seakan tuli. Bola masih ia kendalikan. Slamet berlari di sampingnya. Tubuh mereka beradu siapa yang paling tangguh. Jonatan berhenti, Slamet ikut berhenti. Jonatan menggertak, ia ikut bergerak. “Jaga kawannya! Mau ke mana kau?” Slamet mengancam. Keduanya berlari lagi dengan bola masih di kaki Jonatan.
“Oper sini, Jon!” masih teriak Agus. Jonatan bersikeras. Kini ia sudah cukup dekat ke gawang. Dodi menghadang di depannya saat ia menendang. Bola memantul mengenai kaki Dodi. Musim mengejar tapi Gia mendahului.
“Jaga kawannya, Mam! Jaga kawannya!” kudengar teriakan Musim memberikan perintah pada temannya.
“Guuuusss!” Gia mengoper bola. Agus sudah kehilangan semangat. Bola mendarat di kakinya—tanpa pengawalan. Ia menendang sekenanya ke arah gawang lawan. “Awaaasss!” entah siapa yang berteriak itu. Kiper melompat. Bola berhasil ditepis. Mental kembali ke lapangan. Kemelut. Sekuat tenaga aku berlari menyongsong. Sebelum bola jatuh ke tanah, kutendang lagi ke gawang mereka. “Awaasss!” entah siapa lagi yang berteriak itu. Aku tidak tahu apakah Musim, atau Dodi, atau Slamet. Kiper mereka melompat ke arah datangnya bola.
“Par! Par! Turun cepetan!” Musim meminta tambahan bantuan.
Penonton bersorak. Bola menggelinding bebas. Jonatan mengejarnya. Namun ia terjatuh, “Apa-apaan?” lalu memukul rumput. “Curang!” teriaknya marah-marah.
“Tendang, Ndre! Tendaaaannng!” Lalu aku bisa mendengar Opta berteriak dari gawangnya. Aku melihat matahari kemerahan. Seisi lapangan ikut memerah. Beberapa bagian mulai menghitam karena bayangan pohon-pohon karet yang seakan menghantui lapangan. Lalu Andre menendangnya. Rasanya waktu melambat. Bola bergerak mendatar melewati kami yang berkerumun. Kiper lawan bangkit. Melompat. Jonatan berusaha mengelak karena bola mengarah padanya. Ia terlambat. Ujung kakinya membelokkan arah bola.
... Gol.
Andre terdiam sesaat seperti sedang memahami perbuatannya. Sorakan penonton yang meyakinkannya bahwa ia berhasil. Kami berhasil. Andre berlari ke sana ke mari. Yang lain mengejar berusaha menangkapnya sambil berteriak kemenangan. Bahkan Rukun dan Daud yang cidera ikut mengejar. Andre berlari ke arah penonton, menuju Redi dan Ato. Ia mendapatkan pelukan. Lalu yang lain ikut mengerubungi. Andre mendadak menjadi pahlawan.
Aku menjatuhkan diriku di atas rumput. Pucuk-pucuknya menusuk telingaku. Membuat geli tapi aku tak peduli. Tenagaku terkuras habis. Memandangi langit yang sudah merah kehitaman, aku teringat lagi soal babi-babiku. Binatang itu pasti berisik, berteriak-teriak meminta makan. Lalu Mamakku pulang dan mengetahui aku telah mangkir. Beliau akan melakukannya sendiri. Setelah itu aku akan menghadapi hukuman.
“Ayo pulang!” Opta menghampiriku. Ya, aku harus menghadapi hukumanku sendiri. Mengulurkan tangan, ia membantuku bangkit. Kami berjalan menuju teman-teman yang lain berkumpul menyambut kami. “Kita menang,” kata mereka bahagia. “Ini karena Andre!” sahutan yang lain. Lantas Andre mendapatkan banyak usapan di rambutnya. Aku hanya memandangnya yang tertawa riang.
Opta sudah menerima uang taruhan. Kami lalu bergegas pulang. “Ayo pulang,” kataku pada Andre. Ia terus mengobrol dengan Redi dan Ato sambil mengikutiku dari belakang. Tapi aku tak berkata apa-apa. Selain lelah, aku juga masih memikirkan soal babi-babi itu. Dalam arakan kecil menuju Lau Rempak, anak-anak lain begitu semangat bercerita soal pertandingan tadi. Tertawa-tawa. Hanya aku yang mungkin lesu.
“Aku mau jadi pemain bola!” celetuk Andre. Redi dan Ato juga bersorak mengatakan hal yang sama. Mereka ingin bermain di lapangan besar stadion, ikut Piala Dunia. Mereka ingin satu tim agar masih bisa bermain kelereng atau ke sungai bersama-sama ketika tidak ada pertandingan. Dan entah bagaimana celotehan itu membuat letihku berangsur-angsur lenyap. Maka kudengarkan cerita Andre dan kedua temannya tentang mimpi mereka. Dan, diam-diam aku mendoakannya berhasil mewujudkan itu.