Friday, July 12, 2013

Kamis, 11 Juli 2013: Setelah Ongkosnya Naik Lima Ribu Rupiah

Di Bandara Soeta.




Katamu terlalu lama waktu yang diperlukan oleh kita untuk bertemu. Meski sebelumnya sepakat bahwa Yogya adalah titik awalnya, kita akhirnya bertemu di tempat lain. Jakarta, pada hari kepulanganmu dari Yogya menuju Jambi. Pesawat yang kautumpangi singgah di kota ini. Kau berangkat kira-kira tiga jam setelah berganti pesawat.

Lalu kita bertemu, di terminal kedatangan 1B. Bandara internasional itu sedang sepi. Setidaknya tak seramai saat aku beberapa kali datang sebelumnya. Kau muncul dengan busana ala kadarnya, seperti katamu di telepon. Tapi kau tak bilang kalau kau cantik sekali hari ini. Sedangkan aku berusaha tampil baru, dengan busana yang baru kubeli sehari sebelumnya. Karena kupikir penampilanku selama ini sudah kau hapal lewat banyak foto dan videoku di akun jejaring sosial. Tampil dengan busana yang belum pernah kau lihat akan menjadi kesenangan tersendiri bagiku.

Aku menemukanmu dengan tas punggung kekanak-kanakan, seperti halnya sosokmu. Kau lebih kurus dari yang kubayangkan. Juga tak setinggi yang sempat aku mimpikan. Namun kau banyak tersenyum, sama pedenya dengan apa yang selama ini kausampaikan lewat pembicaraan telepon. Kau berkulit putih pucat, bersikeras rambutmu tebal, dan yakin kau cukup tinggi untuk ukuran perempuan di negeri ini. Namun sayang, kau masih sebatas bahuku, yang lalu membuatmu menyebutku aneh. Dan entah kenapa aku malah suka kau sebut begitu.

Di Solaria bandara itu, dekat terminal kedatangan 1B, aku mengajakmu duduk. Menawarimu makan karena kupikir kau lapar. Tapi kau hanya memesan minuman. Tak mengapa. Kupikir aku punya waktu lain untuk melihatmu mengunyah makanan dengan gigi-gigimu. Kau duduk di hadapanku yang sebisa mungkin kupaksakan bersikap senormal mungkin. Nyatanya aku tak sanggup menatapmu lebih lama dari dua menit. Kau terlalu cantik di penglihatanku. Sinarmu yang pucat entah kenapa malah menyilaukan. Namun aku berharap itu bukan karena sinar matahari karena aku duduk menghadapnya.

Kita mengobrol selama dua jam kurang. Pesawatmu sedikit telat yang merugikan kita, katamu. Kau tak ingin membuang-buang waktumu yang berharga. Hal itu membuatku sedikit terenyuh karena sampai saat ini aku hanya bisa mengatakan aku menyayangimu. Aku mencintaimu. Beberapa setia itu berat. Beberapa adalah ketakutan. Kau menceritakan beberapa hal tentang sepatu, pakaian, kerabatmu di Yogyakarta. Juga tentang almamater yang sudah kau terima. Pertengahan Agustus nanti kau mulai berkuliah. Mewujudkan mimpi dalam Komunikasi. Aku jadi berkhayal kau secepatnya menjadi promotor, atau semacamnya, sebelum aku terlalu tua untuk menjadi pemusik. Entahlah. Aku memerhatikan mulutmu saat kau berbicara, menatap dalam-dalam kedua matamu yang catur itu. Kaumengeluh panas, yang mengakibatkan kau tak tampil secantik yang seharusnya. Aku tertawa dan kau lebih lagi.

Mendekati waktu keberangkatanmu dengan pesawat selanjutnya, aku duduk di kursi di sampingmu. Aku beralasan agar bisa berfoto denganmu. Ada beberapa foto di ponselku, juga ponselmu. Mendekatkan kursiku ke kursimu, membuatmu semakin ingin memegangi jari-jariku. Katamu kau suka, sama seperti awal perkenalan kita tahun lalu. Lalu aku bisa membelai rambutmu atau lebih tepatnya mengacak-acaknya. Hanya agar kau ingat dan terbiasa dengan kebiasaanku. Kupikir itu akan menambah rindu seusai pertemuan ini. Aku mencium keningmu, pipimu yang tirus dan pucat itu. Kau bersandar di bahuku dan juga mengecup pipi kananku. Sekali. Kita akrab sekali, tak peduli dengan sekitar. Ah, ini bandara. Tempat banyak pertemuan dan perpisahan terjadi. Ciuman dan pelukan adalah hal umum. 

Kau menghadiahkanku sebuah pemutar musik lucu berwarna merah muda. Aku suka. Sedangkan aku tak memberikanmu apa-apa. Namun kuharap aku bisa, mungkin di lain kesempatan. Kita akan bertemu lagi saat kau singgah di Jakarta menuju Yogya. Mimpimu berawal di sana. Sedangkan aku masih menerka hingga waktu keberangkatanmu datang. Kau harus pergi, kembali ke Jambi. 

Aku mengantarmu ke terminal keberangkatan 1B tak jauh dari tempat kita ngobrol. Aku membawakan tasmu, sambil kukatakan aku mengenakan kaos kuning warna kesukaanmu. Aku memikirkanmu diam-diam, kalau kau ingin tahu. Di depan pintu pemeriksaan aku memelukmu di hadapan banyak orang. Aku membelai rambutmu dan kau mempererat lingkar tanganmu di pinggangku. Entah berapa kali sudah kukecup keningmu. Lalu kau memintaku menunduk agar kau bisa mencium pipiku. Setelahnya kau pamit meninggalkanku.

Kau tahu, kupikir aku terjebak dengan harapan diam-diam di hatiku. Aku tahu aku merindukanmu, menyayangimu, dan tak ingin kauterluka. Aku bukan siapa-siapa. Kau tahu, aku masih merasakan kedua tanganmu di pinggangku ketika kaumemelukku begitu erat. Hangat yang kaukenalkan kini mengisi ingatanku tentang hari ini. Ciumanmu di pipiku seolah menjadi mantra yang kupikir kau tahu benar apa akibatnya. Aku akan merindukanmu, bahkan saat sosokmu hilang di antara kerumuman orang. Kau tak lagi menoleh ke belakang. 

Apa yang ingin kujadikan tulisan adalah ucapan terima kasih. Terima kasih karena mencintaiku. Di atas segalanya kau adalah pilihan terbaik. Tapi mimpi masih jauh. Kita belum beranjak cukup jauh untuk mengucap setia. Meski kau telah menunjukkan ketulusan, kupikir kita masih punya waktu cukup banyak untuk sebuah pertimbangan. Sementara segalanya terjadi, kupikir satu pun langkah kita berjalan, itu merupakan kenangan yang tak ingin kulupakan. Maka aku memutuskan menuliskannya di sini. Tempat istimewa versiku sendiri.


Chris
Lemahabang, Bekasi
Juli 2013