Wednesday, November 13, 2013

Catatan Tengah Malam

Sejak mula dengan nama Chris Othersides, aku membuat musik yang menurutku sendiri terdengar nanggung--atau malah aneh. Pasalnya, aku tak mencoba sesuatu yang baru, baik itu genre maupun aplikasi pembuat musiknya. Bukan berarti aku tidak menikmati genre musik lain, yang mungkin sangat berbeda dengan genre yang kubuat lewati lagu-laguku. Aku suka rock, alternative, jazz, atau bahkan country. Bagiku bukan genre, melainkan bagaimana musik itu terdengar nikmat dan nyaman di telingaku saat mendengarkannya. Beberapa malah aku sama sekali tak tertarik liriknya. 

Sebagian besar warna musik yang kusuka adalah musik luar. Genre musik di Indonesia, khususnya saat ini, cenderung monoton. Tapi aku bicara soal musik yang muncul di media. Aku yakin banyak genre yang oke banget, tetapi sulit mencapai permukaan. Yang berhasil, dan cenderung bertahan sesaat, yang genre yang umum: pop melayu. Lainnya, grup band rasanya hampir mati. Atau katakanlah sekarat. Sebabnya aku tak tahu pasti. Tapi kupikir pastilah kompleks. Musik yang seringkali tak sengaja didengar telinga jelas musik yang populer. Biasanya di kafe-kafe, pusat perbelanjaan, atau tempat-tempat penjualan CD-DVD bajakan. Seringkali hal itu sedikit membosankan atau malah mengganggu. Rasanya seseorang menebarkan "racun" di udara.

Warna musikku sendiri, dengan nama Chris Othersides maupun Chris Atherside, cenderung pop. Aku tak tahu menyebutnya secara unik, karena kupikir itu tak ada bedanya dengan musik yang lain. Jika ada, mungkin hanyalah dari instrumen mana musiknya dibuat. Aku tak pernah menggunakan alat musik sungguhan. Selalu menggunakan Fruity Loops, semampu kubisa. Maka, kusebut selalu nanggung karena jauh dalam hati aku ingin sekali menggunakan gitar akustik, untuk rhytm. Namun mewujudkan sulit. Kupikir aku harus punya alat yang cukup mumpuni untuk keperluan rekaman. Di saat bersamaan, sebuah tempat yang cocok jadi dapur rekaman, yang sepi dan tenang. Keduanya, aku tidak punya. Sialnya, aku bahkan tak berusaha untuk punya.

Jadi, aku memaksimalkan, meski tetap tak bisa maksimal-maksimal juga, menggunakan aplikasi Fruity Loops. Aku tak mencoba lebih jauh, mengeksplor aplikasi ini sejauh mana ia bisa. Kupikir aku harus. Hanya saja di saat bersamaan, aku bisa cukup puas, atau bahkan merasa musik yang kuhasilkan menggunakan FL itu sudah sempurna di telingaku. Ini poin penting dalam berkarya: yakni penciptanya harus lebih dulu bisa terpuaskan oleh karya yang ia buat sendiri. Dan aku merasa begitu.

Namun untuk menembus pasar musik yang sebenarnya, aku rasa takkan pernah bisa (untuk saat ini). Keadaan sudah cukup terpuaskan tadi membuatku stagnan. Ya sudahlah, begitu saja. Toh, aku sudah menikmatinya. Makanya aku takkan pernah mencapai pasar musik dalam negeri. Mungkin suatu saat nanti, saat aku sudah tua, sudah berkeluarga, dan melakukan kegiatan bermusik lebih baik dari sekarang. Entahlah. 

Hanya saja, terkadang niat ingin diapresiasi itu mengganggu. Terlebih bila aku membuat karya lagu yang kupersembahkan untuk seseorang. Jadi bukan untuk telingaku saja. Dalam beberapa kasus, aku justru kecewa. Ini masalah selera saja, mungkin. Atau lebih buruknya, aku memang tidak bagus dalam hal ini. Karena hal itu, seringnya merasa down. Rasanya ingin dengar seseorang berbohong saja. Mungkin itu lebih baik ya? :D

Seratusan judul lagu yang telah kubuat sejak tahun 2009. Sudah 7 album yang mana semuanya masih dengan nama Chris Othersides. Kupikir itu suatu pencapaian tersendiri untuk ukuran seseorang yang membuat segalanya sendirian dengan menggunakan sebuah laptop. Apalagi di lingkunganku, tidak ada yang bisa melakukan hal yang telah kulakukan itu. Aku cukup berpuas diri, pada satu titik. 

Kembali ke warna musik, aku sangat terpengaruh pada gaya band Sheila on 7 dalam berkarya. Beberapa orang bilang caraku bernyanyi sangat meniru Duta, aransemen musikku berporos pada musik Sheila on 7. Bagiku itu merupakan pujian. Sependengaranku, tidak ada band baru di Indonesia yang seperti So7. Apakah musik mereka tidak asyik? Jelas bukan. Fans mereka sangat banyak, bahkan hingga kini. Apakah musik mereka tidak cocok lagi dengan jaman sekarang? Ah, rasanya juga bukan. Album baru mereka penuh dengan musik yang oke, nyaman, nikmat di telinga. Mungkinkah musik mereka terlalu bagus, hingga sulit bagi band-band baru menirunya? Kenapa pop melayu ala Noah, Ungu, Setia Band, dll, yang merajalela? Oh, kalau musik mereka yang solo, aku rasa monoton juga. Kurang variasi dan cenderung tak ada sisi yang bisa dipelajari. Penyanyi solo jelas bicara vocal. Beda dengan band yang harus mengusung semua aspek; vocal dan aransemen musik. Band yang bisa lebih dinikmati musiknya daripada solo. 

Sheila on 7 sendiri punya aransemen yang khas. Instrumen yang mereka gunakan juga variatif. Band-band lain, di jamannya, juga punya ciri yang membedakan satu dengan yang lain. Hal-hal itu asyik banget buat dipelajari. 

Namun yang sedikit aneh adalah, di dalam negeri, musik-musik band dari luar cukup dipuja. Banyak yang suka. Lihat saja, seringkali band-band luar itu diundang untuk manggung di Indonesia. Heran saja, dari sekian banyak genre musik yang band-band itu usung, yang berjaya cuma Jazz. Berjaya dalam arti warna musik begitu juga cukup menjamur di dalam negeri. Band-band atau penyanyi solo dengan genre Jazz cukup banyak rasanya. Padahal, menurutku Jazz lebih rumit daripada rock alternative semacam Linkin Park. Dulu Kobe sempat muncul, namun tidak lama. 

Lalu Sheila on 7 sendirdi serasa tidak ada penerusnya. Juga band semacam Dewa, Gigi, Padi, dan Slank. Mereka seolah mandul, dalam arti tidak punya keturunan. Yang banyak anaknya justru band Ungu, Noah, Setia Band (sebelumnya bernama ST12). Aku bisa saja menyebutkan band-band mana yang musiknya cenderung mirip dengan band-band papan atas di atas. Faktanya, band-band yang banyak diadopsi genre musiknya itu justru musik yang cenderung sama, kurang kreatifitas, dan hampir tak ada lagi yang bisa dipelajari dari musiknya. Oh, tentu saja ini pendapat pribadi. 

Dalam hal ini, mungkin aku sendiri kadang merasa bangga bahwa musikku semacam anak So7. Setidaknya dalam beberapa judul. Dan pasti akan terdengar semakin mirip bila aku punya peralatan yang cukup dalam membuatnya. Sejujurnya, aku memang meniru cara mereka mengaransemen, baik itu instrumen maupun ritme. Bila mereka mengeluarkan karya baru, aku menikmati musiknya jauh dari aspek lain. Dan cara Duta bernyanyi merupakan pelajaran dalam melatih kemampuan menyanyiku. Sedikit aku berharap, suatu saat nanti, mungkin ketika aku sudah tidak bermusik (atau mati), seseorang akan mendapati betapa musikku condong pada band asal Yogya itu.

Setelah lebih dari seratus lagu, kupikir aku akan kembali ke titik di mana aku hanya ingin menikmati karya-karyaku. Upaya bisa menghibur siapa saja itu terlalu besar bagiku, terlebih dalam keadaan peralatan tidak mendukung. Maka, pengharapan-pengharapan lain dalam bermusik itu, dengan sendirinya mengecil, menyisakan pada kepuasan diri sendiri. Begitu saja, kupikir aku akan bahagia. Warna musikku tidak pernah khusus atau unik, memang. Aku tak mengupayakan pada suatu genre, melainkan mengaransemen bagaimana musiknya enak di telingaku sendiri. Jika ditanya, aku tetap menyebut pop. Mungkin itu saja sudah cukup :)



November 2013

Friday, October 25, 2013

Note: Bila Nanti Aku Semakin Muak dengan Keadaan Ini.


sudah sejak sekian tahun punya kecenderungan ingin jauh-jauh dari kampung halaman sendiri, sebisa mungkin tidak pulang lagi ke sana, dengan alasan apapun. sudah sejak lama, aku kira sejak aku SMA, aku tidak ingin pulang ke sana lagi. mungkin aku seperti kacang lupa kulitnya, warga negara yang lupa sejarahnya, atau anak yang durhaka. dugaan semacam itu tidak kupedulikan, sebab aku rasa tidak demikian adanya. tahun 2011 adalah jawaban kenapa aku punya kecenderungan seperti ini. bukan karena hidupku lebih menyenangkan secara materi di luar sana (yang sebenarnya malah menderita), tapi aku merasakan itulah tempatku, yakni tempat yang jauh atau bukan di kampung halamanku sendiri. hal ini sepertinya tidak disadari ortu sedikitpun sekalipun sudah kutunjukkan keengganan bertahan lebih dari dua malam menginap di kampungku. atau mereka sadar tapi bersikeras memaksakan kehendaknya sebagai orang tua yang harus dipatuhi oleh anaknya. semakin lama di sini, semakin membuatku muak. apalagi ditambah keharusan untuk pulang kampung—melakukan kegiatan yang sama sekali tidak kusenangi. ini bukan aku. bilapun karena kecenderungan ini aku dicap durhaka, sudah sejak lama aku katakan aku rela. lebih baik bebas dan mati menderita di tempat yang kuinginkan daripada hidup nyaman selamanya di tempat yang tidak kuharapkan. (Chris)

Tuesday, September 3, 2013

Percaya Padaku. Sekali Lagi.

bagian tersulit dalam hubungan cinta adalah mempertahankan, mewujudkan, menjaga tujuan sampai akhir. hal-hal semacam mimpi yang biasanya berlanjut kepada cita-cita untuk berkeluarga itu sungguh mulia. aku punya satu, yang ingin kuwujudkan bersamamu. sebuah keluarga. kau jadi isteriku yang akan menjadi ibu dari anak-anakku. dan aku menjadi suamimu yang menjadi bapak dari anak-anakmu. anak kita. 

setia itu karakter yang bisa dibentuk semasa hidup. sama seperti karakter lainnya, setia termasuk hal-hal biasa. kau bisa setia pada satu cinta, dan menghabiskan hidupmu dengan orang yang sama sekali tidak kaucintai. kupikir itu hal yang umum terjadi. namun ketika aku ingat lagi bagaimana kata-katamu tercetak di panel digital, layar ponselku, bahwa kau tipe yang akan menghabiskan sisa hidupmu bersama orang yang kaucintai dan mencintaimu, aku terkenang hal-hal yang sudah berlalu. 

aku pernah sepertimu. aku mengucapkan kata-kata yang berbunyi tak jauh berbeda dengan milikmu kepada seseorang. saat itu aku juga seusiamu. berkaca pada betapa miripnya kita, aku memperkirakan tantangan terberat dalam hal ini ada pada satu sampai empat tahun ke depan. aku tak menuduhmu bisa dengan mudah tergoyahkan soal cinta ini. hanya saja, aku pernah mengalaminya. kuharap jangan sampai kau menuliskan cerita yang sama. terlebih kali ini ada aku dalam ceritamu. 

aku tahu terlalu dini untuk menilai bagaimana kau melewati hal-hal ini nanti. mungkin aku hanya sedang ingin menulis catatan. bila saja kenyataannya seperti yang aku khawatirkan, semoga ada sesuatu hal yang akan membuatku membaca tulisan ini lagi. dengan begitu aku pasti akan lebih mudah merelakanmu. merelakan cinta dan tujuan hidupku pergi, sekali lagi.

dan di atas segala hal tentang kekhawatiran ini, aku ingin berterima kasih karena telah mencintaiku sedemikian hebatnya. kupikir aku takkan mengalami hal-hal luar biasa seperti ini lagi di sisa hidupku. tapi kau menjadikannya nyata. kau hadir dengan segala keriangan yang menjelma sesuatu yang menyemangatiku. kau membuatku bermimpi lagi, memimpikan rumah, keluarga utuh. bersamamu.

aku tak ingin kenangan selama beberapa malam di yogya terganti dengan hal-hal lain. namun aku rela bila itu menjadi satu bagian dari kenangan kita nanti, yang bisa kita ingat, kita ceritakan ulang suatu waktu di masa depan. tentunya dengan bahagia. kau milikku dan aku milikmu. demikian saja untuk kali ini. aku sungguh-sungguh mencintaimu. ketika kau melihat bagaimana aku pernah mengecewakanmu di masa lalu, lihatlah saja: aku tak pernah membicarakan hal-hal "gila" seperti yang kuceritakan padamu. kau lebih dari sebuah cinta. kuharap kau bisa percaya aku. sekali lagi.


Chris
Medan, 02.030913.22.57

Wednesday, August 21, 2013

Pengasingan: Mengakhiri dengan Sebuah Lagu.

aku menulis ini pada Rabu, 21 Agustus. 2013. di kamar kontrakanku di Lemahabang, Cikarang. dalam waktu sepuluh hari ke depan, aku sudah tak di sini lagi. aku akan kembali ke Medan. kembali pada hal-hal yang dengan mudah membuatku jenuh. pulang, lebih karena ibuku masuk rumah sakit. kemarin. kudengar itu karena jantungnya. akalku mengatakan penyebabnya adalah hal-hal yang ia pikirkan. hal-hal yang mengecewakannya sebagai ibu yang mengharapkan semua anak-anaknya berjalan sesuai pada jalan yang ia tunjukkan. setidaknya sampai mereka lulus kuliah. dengan kata lain, mendapatkan gelar sarjana.

semua hal tentang pelarianku sejak Desember 2012 hingga akan pulang pada akhir Agustus 2013 adalah keegoisan. setidaknya itu kata seseorang yang kutemui di bandara, Senin lalu. Chris.

itu pertemuan kedua kami setelah yang pertama di bandara yang sama. ia menuju Yogya, transit di Jakarta. yang aku ingat adalah pada pagi hari, jam lima, aku hampir batal berangkat karena tiket kereta sudah habis. tentu saja itu ulah oknum. sistem penjualan tiket di stasiun Lemahabang itu dimulai pada saat kereta kira-kira berjarak dua stasiun lagi. jadi mustahil kehabisan tiket karena aku tiba di sana, kira-kira 20 menit sebelum kereta tiba. tapi penumpang naik saja dan turun di stasiun berikutnya untuk membeli tiket. yang sempat naik kereta itu lagi sibuk berlari. sementara aku tidak. kupikir aku punya cukup waktu untuk menunggu kereta berikutnya yang dijadwalkan datang 30 menit setelah yang pertama.

kami bertemu di bandara. aku menunggunya kira-kira 30 menit sampai akhirnya ia membalas smsku. pesawatnya baru mendarat. kutunggu ia di terminal kedatangan B1. ia muncul dengan pandang mencari-cari. senyumnya itu dan wajah tanpa kerut sekalipun mimiknya cukup ekspresif. aku merentangkan tangan dan ia menghambur ke pelukanku. aku kangen dia, sekalipun sungguh ia suka nyebelin.

di Solaria. seperti tempat pertama kami melewatkan waktu. kami ke sana lagi. kali ini yang paling atas. tempatnya cukup asyik dan lumayan ramai. makan dan minum. aku menyuapinya. dia tidak. maklum, ia belum tahu kalau sesungguhnya aku ingin disuapi, sesekali. sifat manjaku selalu ada. bahkan pasti kumat bila aku dekat dengan orang yang kusayang. aku menyuapinya, karena menurutku ia pasti suka dengan itu. ia sepertiku. dalam banyak hal, kami terlalu mirip. dan ternyata aku semenyebalkan dia, kupikir.

bicarakan banyak hal. kali ini punya waktu lebih karena pesawatnya tepat waktu. ia berhasil menjalankan "misi" saat bertemu denganku. mungkin percobaan pertamanya kurang mendapatkan respon. tapi aku harap ia suka yang setelahnya. meski aku harus, ya, membuang rasa malu. kupikir itu biasa saja. tempat semacam bandara itu merupakan tempat netral. meski aku tak yakin ada survei tentang hal itu. adakah yang sudah membuat penelitian? :)

ia memberikanku sebuah buku tulis yang masih kosong. terbungkus plastik. lembar pertamanya ia menuliskan beberapa kata. tulisannya jelek. tidak secantik dirinya. tapi tentu saja aku suka. juga sebuah hadiah kecil. gantungan untuk ponsel kupikir. lucu. 

dua jam lebih bersamanya. dua jam yang paling singkat itu harus berakhir karena pesawatnya siap lepas landas. kami keluar dari Solaria menuju terminal keberangkatan B1. ia berangkat dari sana. sama seperti sebelumnya. sebelum ia masuk ke pintu yang akan menjauhkannya dariku, kami berpelukan erat dan cukup lama. aku membelai rambutnya. ia menghantarkan hangat atau semacam kepastian kapan kami bisa bertemu lagi, untuk segalanya. aku tahu aku menginginkan pertemuan berikutnya. dan yang bisa kukatakan adalah "secepatnya". aku mencium keningnya berkali-kali. aku suka rambutnya yang tak lebih lembut dari rambutku itu. ia mencium kedua pipiku. dan aku harus melepasnya. aku harus berpisah darinya.

ia sempat melambai setelah melewati gerbang pemeriksaan. lalu berlalu. begitu saja.

tak ada kata yang tepat yang bisa kujadikan pegangan untuknya. keadaan sedang sulit. hal ini dibuktikan oleh pembicaraanku dengan atasan tempatku bekerja. pagi hari, 20 Agustus. sehari setelah aku menikmati pertemuan keduaku dengan Chris. aku harus berhenti bekerja karena keadaan perusahaan sedang limbung. entah suatu kebetulan. suasana hatiku juga sedang kacau mendapat kabar ibu yang masuk rumah sakit. jantung. maka kuputuskan untuk pulang dalam beberapa hari lagi. tentu, sebelum aku harus bayar kontrakan bulan berikutnya. 

segalanya terjadi begitu cepat. aku sudah mengabari orang tuaku kalau aku akan pulang. setelah mendapatkan hak-hakku selama bekerja di sini, aku segera terbang ke Medan. kupikir aku tak perlu lagi kompromi, meski jauh dalam hati aku menyusun rencana untuk mengunjungi Chris di Yogya, sesaat sebelum aku terpisah jauh darinya untuk waktu yang tak sebentar. aku takkan bisa mengunjunginya semudah bila aku tetap tinggal di Cikarang dan ia di Yogya. jarak semakin menyebalkan dan ia tahu ini menyiksa dalam beberapa hal. 

kupikir aku menjalani kehidupanku dengan sebaik mungkin. sebuah lagu kuselesaikan beberapa hari yang lalu. sebuah lagu dengan judul Keluarga. ini adalah karya pertamaku yang kupublikasikan ke internet semasa aku dalam "pengasingan" ini. lagu ini tentang rindu, cinta, dan tujuan. hal-hal yang kuharap membantuku seterusnya agar aku tak hilang dalam kubangan yang sama: hidup nyaman tanpa syukur pun tujuan. di Medan, dalam keadaan nyaman karena orang tuaku, aku rentan tak peduli apapun. aku takut. oh, aku takut kehilangannya. takut membuatnya merasa telah kehilangan aku. hal-hal yang tak pernah kubicarakan sebelumnya. 

lagu Keluarga kutinggalkan di soundcloud. ia penanda aku mengakhiri masa pengasinganku. kupikir ia menjadi jawaban atas apa yang kucari selama hampir 8 bulan meninggalkan keluargaku. aku ingin memelihara rinduku, yang ternyata begitu nyata dan membahagiakan justru ketika aku jauh dan kesepian. cinta, yang kutemukan jauh dari masa laluku yang telah kucoreng sendiri, yang tak bisa kukembalikan lagi. juga tujuan, suatu hal yang selama tak pernah kuakui, karena tak pernah kurasakan keberadaannya di hidupku. 

catatan ini kuakhiri dengan doa dan syukur: hal yang luput ketika aku hidup nyaman dalam asuhan orang tuaku. kupikir aku telah menjalani jalan yang benar demi kebahagiaan batinku. tapi Chris bilang aku egois karena tak memikirkan kebanggaan orang tuaku. entahlah. aku tak pernah setuju dengan hal itu. arus kehidupan mainstream. hal-hal biasa yang memaksa seseorang mengikutinya agar hidup terjamin dalam lingkungan bermasyarakat dan aspek-aspeknya. 

aku pasti merindukan perjalanan ini. merindukan banyak hal susah di tanah perantauan. merindukan malam aku tidur di jalanan. dan aku pasti merindukanmu. aku sudah tahu bagaimana itu rasanya. 



Chris
Lemahabang, 21Agustus 2013

Friday, July 12, 2013

Kamis, 11 Juli 2013: Setelah Ongkosnya Naik Lima Ribu Rupiah

Di Bandara Soeta.




Katamu terlalu lama waktu yang diperlukan oleh kita untuk bertemu. Meski sebelumnya sepakat bahwa Yogya adalah titik awalnya, kita akhirnya bertemu di tempat lain. Jakarta, pada hari kepulanganmu dari Yogya menuju Jambi. Pesawat yang kautumpangi singgah di kota ini. Kau berangkat kira-kira tiga jam setelah berganti pesawat.

Lalu kita bertemu, di terminal kedatangan 1B. Bandara internasional itu sedang sepi. Setidaknya tak seramai saat aku beberapa kali datang sebelumnya. Kau muncul dengan busana ala kadarnya, seperti katamu di telepon. Tapi kau tak bilang kalau kau cantik sekali hari ini. Sedangkan aku berusaha tampil baru, dengan busana yang baru kubeli sehari sebelumnya. Karena kupikir penampilanku selama ini sudah kau hapal lewat banyak foto dan videoku di akun jejaring sosial. Tampil dengan busana yang belum pernah kau lihat akan menjadi kesenangan tersendiri bagiku.

Aku menemukanmu dengan tas punggung kekanak-kanakan, seperti halnya sosokmu. Kau lebih kurus dari yang kubayangkan. Juga tak setinggi yang sempat aku mimpikan. Namun kau banyak tersenyum, sama pedenya dengan apa yang selama ini kausampaikan lewat pembicaraan telepon. Kau berkulit putih pucat, bersikeras rambutmu tebal, dan yakin kau cukup tinggi untuk ukuran perempuan di negeri ini. Namun sayang, kau masih sebatas bahuku, yang lalu membuatmu menyebutku aneh. Dan entah kenapa aku malah suka kau sebut begitu.

Di Solaria bandara itu, dekat terminal kedatangan 1B, aku mengajakmu duduk. Menawarimu makan karena kupikir kau lapar. Tapi kau hanya memesan minuman. Tak mengapa. Kupikir aku punya waktu lain untuk melihatmu mengunyah makanan dengan gigi-gigimu. Kau duduk di hadapanku yang sebisa mungkin kupaksakan bersikap senormal mungkin. Nyatanya aku tak sanggup menatapmu lebih lama dari dua menit. Kau terlalu cantik di penglihatanku. Sinarmu yang pucat entah kenapa malah menyilaukan. Namun aku berharap itu bukan karena sinar matahari karena aku duduk menghadapnya.

Kita mengobrol selama dua jam kurang. Pesawatmu sedikit telat yang merugikan kita, katamu. Kau tak ingin membuang-buang waktumu yang berharga. Hal itu membuatku sedikit terenyuh karena sampai saat ini aku hanya bisa mengatakan aku menyayangimu. Aku mencintaimu. Beberapa setia itu berat. Beberapa adalah ketakutan. Kau menceritakan beberapa hal tentang sepatu, pakaian, kerabatmu di Yogyakarta. Juga tentang almamater yang sudah kau terima. Pertengahan Agustus nanti kau mulai berkuliah. Mewujudkan mimpi dalam Komunikasi. Aku jadi berkhayal kau secepatnya menjadi promotor, atau semacamnya, sebelum aku terlalu tua untuk menjadi pemusik. Entahlah. Aku memerhatikan mulutmu saat kau berbicara, menatap dalam-dalam kedua matamu yang catur itu. Kaumengeluh panas, yang mengakibatkan kau tak tampil secantik yang seharusnya. Aku tertawa dan kau lebih lagi.

Mendekati waktu keberangkatanmu dengan pesawat selanjutnya, aku duduk di kursi di sampingmu. Aku beralasan agar bisa berfoto denganmu. Ada beberapa foto di ponselku, juga ponselmu. Mendekatkan kursiku ke kursimu, membuatmu semakin ingin memegangi jari-jariku. Katamu kau suka, sama seperti awal perkenalan kita tahun lalu. Lalu aku bisa membelai rambutmu atau lebih tepatnya mengacak-acaknya. Hanya agar kau ingat dan terbiasa dengan kebiasaanku. Kupikir itu akan menambah rindu seusai pertemuan ini. Aku mencium keningmu, pipimu yang tirus dan pucat itu. Kau bersandar di bahuku dan juga mengecup pipi kananku. Sekali. Kita akrab sekali, tak peduli dengan sekitar. Ah, ini bandara. Tempat banyak pertemuan dan perpisahan terjadi. Ciuman dan pelukan adalah hal umum. 

Kau menghadiahkanku sebuah pemutar musik lucu berwarna merah muda. Aku suka. Sedangkan aku tak memberikanmu apa-apa. Namun kuharap aku bisa, mungkin di lain kesempatan. Kita akan bertemu lagi saat kau singgah di Jakarta menuju Yogya. Mimpimu berawal di sana. Sedangkan aku masih menerka hingga waktu keberangkatanmu datang. Kau harus pergi, kembali ke Jambi. 

Aku mengantarmu ke terminal keberangkatan 1B tak jauh dari tempat kita ngobrol. Aku membawakan tasmu, sambil kukatakan aku mengenakan kaos kuning warna kesukaanmu. Aku memikirkanmu diam-diam, kalau kau ingin tahu. Di depan pintu pemeriksaan aku memelukmu di hadapan banyak orang. Aku membelai rambutmu dan kau mempererat lingkar tanganmu di pinggangku. Entah berapa kali sudah kukecup keningmu. Lalu kau memintaku menunduk agar kau bisa mencium pipiku. Setelahnya kau pamit meninggalkanku.

Kau tahu, kupikir aku terjebak dengan harapan diam-diam di hatiku. Aku tahu aku merindukanmu, menyayangimu, dan tak ingin kauterluka. Aku bukan siapa-siapa. Kau tahu, aku masih merasakan kedua tanganmu di pinggangku ketika kaumemelukku begitu erat. Hangat yang kaukenalkan kini mengisi ingatanku tentang hari ini. Ciumanmu di pipiku seolah menjadi mantra yang kupikir kau tahu benar apa akibatnya. Aku akan merindukanmu, bahkan saat sosokmu hilang di antara kerumuman orang. Kau tak lagi menoleh ke belakang. 

Apa yang ingin kujadikan tulisan adalah ucapan terima kasih. Terima kasih karena mencintaiku. Di atas segalanya kau adalah pilihan terbaik. Tapi mimpi masih jauh. Kita belum beranjak cukup jauh untuk mengucap setia. Meski kau telah menunjukkan ketulusan, kupikir kita masih punya waktu cukup banyak untuk sebuah pertimbangan. Sementara segalanya terjadi, kupikir satu pun langkah kita berjalan, itu merupakan kenangan yang tak ingin kulupakan. Maka aku memutuskan menuliskannya di sini. Tempat istimewa versiku sendiri.


Chris
Lemahabang, Bekasi
Juli 2013


Monday, April 22, 2013

Chris - Perahu



beberapa cinta adalah perahu
beberapa tiba di dermaga
beberapa karam di lautan
beberapa puing 
mengapung dibawa ombak
ke bibir pantai



Chris

 

 

Monday, April 15, 2013

Sebuah Peristiwa di Gang Lorong Sembilan

Sedang ingin menulis saja...


Rasanya, aku kehilangan banyak hal dari tulis-temulis. 
Aku kehilangan sensasi menyenangkan saat menyelesaikan karya, berupa cerita.
Juga kehilangan greget yang entah ke mana perginya.

Dan sudah berapa lama waktunya, yang terlewat, tanpa aku bisa mengabari apapun yang bisa kukabari sebagai catatan perjalanan. Ah, dulu aku berjanji akan menulis semua yang kurasakan, baik tersirat ataupun blak-blakan. Tapi, kegiatan yang kujalani membuat segalanya nggak berjalan lancar. Contohnya sekarang. Siapa yang menduga kalau aku akan bekerja? Menjadi karyawan di sebuah perusahaan kecil di daerah Cikarang. Mendapat gaji yang tak begitu besar tapi sanggup menghidupi diri sendiri. Ehehehe. Punya kontrakan 400 ribu rupiah sebulan. Kamar luas yang tak berisi apa-apa.

Tapi apa yang sedang kucoba tuliskan di sini jelas hanya catatan iseng. Maksudku, ada hal yang dulu kubuang jauh-jauh (meski aku memposisikan setiap ingatan yang ingin kulupakan itu tetap tersimpan dalam gelembung-gelembung kecil di suatu bagian dalam otakku). Gelembung yang berisi ingatan itu pecah, sebagian. Dan ingatan di dalamnya kembali menyergapku suatu siang di kantor. Apa itu?

Kupikir itu sebuah situasi yang sulit yang pernah dirasakan seseorang yang pernah ada di hatiku. Tak baik menyebut namanya di sini. Lagipula, itu tak penting. Justru masalahnya adalah efeknya padaku dan tanggapanku (dalam tulisan ini) yang mungkin aneh dan lebay. Itu adalah suatu sore yang panas di Medan, tempat tinggalku sebelumnya. Aku yang berkunjung diam-diam ke kamar kosnya, disambut dengan sebagaimana mestinya. Kenapa aku mengatakannya diam-diam? Ya, saat itu dia dengan yang lain. Pacar seseorang.

Kegilaan di dalam diriku hanya ingin disalurkan dengan mengunjunginya. Aku sedih, tentu saja. Dan melihatnya adalah penyembuh. Kebetulan, aku menganggapnya mengerti aku, dia menerimaku dengan maksud baik. 

Kami bicara banyak hal, yang sebenarnya aku tahu kurang nyaman baginya. Tentu saja. Bagaimana mungkin kau bisa nyaman dengan seseorang yang bilang masih mencintaimu (padahal ia baru melukaimu) di saat kamu sedang jatuh cinta dengan seseorang yang lain. Itu benar-benar situasi yang rumit. Bertambah rumit karena aku tak asing di kamar kontrakan itu. Aku sering di sana sebelumnya. Makan di sana, melewatkan banyak momen bahagia di sana.

Perasaanku tenang bersamanya, meski ia sedikit gelisah dengan ponselnya. Hingga akhirnya setelah beberapa jam, seseorang muncul di depan pintu. Sekejap saja ia lalu menghilang dengan langkah yang terdengar olehku. Mantan kekasihku yang baik mengejarnya. Aku kehilangan tempat duduk. Beberapa waktu lamanya aku diam sendirian, sampai akhirnya dia datang dengan kekasihnya itu. Itu adalah pengalaman pertamaku bertemu dengan kekasih mantan kekasihku. Kacau.

Pria baik itu bilang kunjunganku membuatnya tak nyaman. Harusnya aku tak boleh datang sendiri, atau minimal kekasihnya yang kekasihku dulu itu tak bisa menerimaku saat ia sedang tak bersama siapa-siapa. Dia merasa harga dirinya dijatuhkan. Jauh di dalam hati aku memaklumi. Aku merasa bersalah dan hanya banyak diam dan berusaha tersenyum. Tegar. Hanya itu yang bisa kulakukan.

Setelah kalimat-kalimatnya yang tegas, aku meminta maaf dan berjanji tak akan berkunjung lagi. Dan kuminta dia untuk tak menyalahkan pacarnya. Toh, sejak awal aku yang memaksa datang karena yang aku tahu penyembuh lukaku hanya kekasihnya itu. Lalu aku bangkit dan pergi. Aku menyeberang. Malam menyergap Padang Bulan, Medan. Di atas angkutan umum aku merenung. Sedih rasanya. Namun yang paling membuat getir adalah isi pesan yang kuterima tak lama setelahnya.

"Maafkan aku. Aku tak tahu jalan pulang."

Air mataku menitik. Itu sungguh menusukku, tepat di jantung. Di sana aku malah tak ingin ia pulang. Biar ia menjalaninya, dengan pria itu. Aku rasa ia adalah pilihan tepat. Denganku adalah jalan yang keliru. Aku hanya pria yang tahu menyakiti, lalu terluka parah bila yang tersakiti diriku sendiri. Biarlah, ia dengan kekasihnya.

...

Lama setelahnya, beberapa tahun, aku yakin aku menginginkan atau membutuhkan momen "itu". Ternyata aku harus menyakiti diriku sendiri, agar aku sadar aku masih punya hati. Sekarang aku batu. Aku menunggu perempuan atau cinta mana yang mampu membuatku patah hati, menangis semalaman, kehilangan selera makan, atau berniat bunuh diri. Sungguh, dengan anehnya, aku menantikan saat itu. 

Apa yang salah dengan diriku?





- Chris -