Sedang ingin menulis saja...
Rasanya, aku kehilangan banyak hal dari tulis-temulis.
Aku kehilangan sensasi menyenangkan saat menyelesaikan karya, berupa cerita.
Juga kehilangan greget yang entah ke mana perginya.
Dan sudah berapa lama waktunya, yang terlewat, tanpa aku bisa mengabari apapun yang bisa kukabari sebagai catatan perjalanan. Ah, dulu aku berjanji akan menulis semua yang kurasakan, baik tersirat ataupun blak-blakan. Tapi, kegiatan yang kujalani membuat segalanya nggak berjalan lancar. Contohnya sekarang. Siapa yang menduga kalau aku akan bekerja? Menjadi karyawan di sebuah perusahaan kecil di daerah Cikarang. Mendapat gaji yang tak begitu besar tapi sanggup menghidupi diri sendiri. Ehehehe. Punya kontrakan 400 ribu rupiah sebulan. Kamar luas yang tak berisi apa-apa.
Tapi apa yang sedang kucoba tuliskan di sini jelas hanya catatan iseng. Maksudku, ada hal yang dulu kubuang jauh-jauh (meski aku memposisikan setiap ingatan yang ingin kulupakan itu tetap tersimpan dalam gelembung-gelembung kecil di suatu bagian dalam otakku). Gelembung yang berisi ingatan itu pecah, sebagian. Dan ingatan di dalamnya kembali menyergapku suatu siang di kantor. Apa itu?
Kupikir itu sebuah situasi yang sulit yang pernah dirasakan seseorang yang pernah ada di hatiku. Tak baik menyebut namanya di sini. Lagipula, itu tak penting. Justru masalahnya adalah efeknya padaku dan tanggapanku (dalam tulisan ini) yang mungkin aneh dan lebay. Itu adalah suatu sore yang panas di Medan, tempat tinggalku sebelumnya. Aku yang berkunjung diam-diam ke kamar kosnya, disambut dengan sebagaimana mestinya. Kenapa aku mengatakannya diam-diam? Ya, saat itu dia dengan yang lain. Pacar seseorang.
Kegilaan di dalam diriku hanya ingin disalurkan dengan mengunjunginya. Aku sedih, tentu saja. Dan melihatnya adalah penyembuh. Kebetulan, aku menganggapnya mengerti aku, dia menerimaku dengan maksud baik.
Kami bicara banyak hal, yang sebenarnya aku tahu kurang nyaman baginya. Tentu saja. Bagaimana mungkin kau bisa nyaman dengan seseorang yang bilang masih mencintaimu (padahal ia baru melukaimu) di saat kamu sedang jatuh cinta dengan seseorang yang lain. Itu benar-benar situasi yang rumit. Bertambah rumit karena aku tak asing di kamar kontrakan itu. Aku sering di sana sebelumnya. Makan di sana, melewatkan banyak momen bahagia di sana.
Perasaanku tenang bersamanya, meski ia sedikit gelisah dengan ponselnya. Hingga akhirnya setelah beberapa jam, seseorang muncul di depan pintu. Sekejap saja ia lalu menghilang dengan langkah yang terdengar olehku. Mantan kekasihku yang baik mengejarnya. Aku kehilangan tempat duduk. Beberapa waktu lamanya aku diam sendirian, sampai akhirnya dia datang dengan kekasihnya itu. Itu adalah pengalaman pertamaku bertemu dengan kekasih mantan kekasihku. Kacau.
Pria baik itu bilang kunjunganku membuatnya tak nyaman. Harusnya aku tak boleh datang sendiri, atau minimal kekasihnya yang kekasihku dulu itu tak bisa menerimaku saat ia sedang tak bersama siapa-siapa. Dia merasa harga dirinya dijatuhkan. Jauh di dalam hati aku memaklumi. Aku merasa bersalah dan hanya banyak diam dan berusaha tersenyum. Tegar. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Setelah kalimat-kalimatnya yang tegas, aku meminta maaf dan berjanji tak akan berkunjung lagi. Dan kuminta dia untuk tak menyalahkan pacarnya. Toh, sejak awal aku yang memaksa datang karena yang aku tahu penyembuh lukaku hanya kekasihnya itu. Lalu aku bangkit dan pergi. Aku menyeberang. Malam menyergap Padang Bulan, Medan. Di atas angkutan umum aku merenung. Sedih rasanya. Namun yang paling membuat getir adalah isi pesan yang kuterima tak lama setelahnya.
"Maafkan aku. Aku tak tahu jalan pulang."
Air mataku menitik. Itu sungguh menusukku, tepat di jantung. Di sana aku malah tak ingin ia pulang. Biar ia menjalaninya, dengan pria itu. Aku rasa ia adalah pilihan tepat. Denganku adalah jalan yang keliru. Aku hanya pria yang tahu menyakiti, lalu terluka parah bila yang tersakiti diriku sendiri. Biarlah, ia dengan kekasihnya.
...
Lama setelahnya, beberapa tahun, aku yakin aku menginginkan atau membutuhkan momen "itu". Ternyata aku harus menyakiti diriku sendiri, agar aku sadar aku masih punya hati. Sekarang aku batu. Aku menunggu perempuan atau cinta mana yang mampu membuatku patah hati, menangis semalaman, kehilangan selera makan, atau berniat bunuh diri. Sungguh, dengan anehnya, aku menantikan saat itu.
Apa yang salah dengan diriku?
- Chris -
No comments:
Post a Comment