Sejak mula dengan nama Chris Othersides, aku membuat musik yang menurutku sendiri terdengar nanggung--atau malah aneh. Pasalnya, aku tak mencoba sesuatu yang baru, baik itu genre maupun aplikasi pembuat musiknya. Bukan berarti aku tidak menikmati genre musik lain, yang mungkin sangat berbeda dengan genre yang kubuat lewati lagu-laguku. Aku suka rock, alternative, jazz, atau bahkan country. Bagiku bukan genre, melainkan bagaimana musik itu terdengar nikmat dan nyaman di telingaku saat mendengarkannya. Beberapa malah aku sama sekali tak tertarik liriknya.
Sebagian besar warna musik yang kusuka adalah musik luar. Genre musik di Indonesia, khususnya saat ini, cenderung monoton. Tapi aku bicara soal musik yang muncul di media. Aku yakin banyak genre yang oke banget, tetapi sulit mencapai permukaan. Yang berhasil, dan cenderung bertahan sesaat, yang genre yang umum: pop melayu. Lainnya, grup band rasanya hampir mati. Atau katakanlah sekarat. Sebabnya aku tak tahu pasti. Tapi kupikir pastilah kompleks. Musik yang seringkali tak sengaja didengar telinga jelas musik yang populer. Biasanya di kafe-kafe, pusat perbelanjaan, atau tempat-tempat penjualan CD-DVD bajakan. Seringkali hal itu sedikit membosankan atau malah mengganggu. Rasanya seseorang menebarkan "racun" di udara.
Warna musikku sendiri, dengan nama Chris Othersides maupun Chris Atherside, cenderung pop. Aku tak tahu menyebutnya secara unik, karena kupikir itu tak ada bedanya dengan musik yang lain. Jika ada, mungkin hanyalah dari instrumen mana musiknya dibuat. Aku tak pernah menggunakan alat musik sungguhan. Selalu menggunakan Fruity Loops, semampu kubisa. Maka, kusebut selalu nanggung karena jauh dalam hati aku ingin sekali menggunakan gitar akustik, untuk rhytm. Namun mewujudkan sulit. Kupikir aku harus punya alat yang cukup mumpuni untuk keperluan rekaman. Di saat bersamaan, sebuah tempat yang cocok jadi dapur rekaman, yang sepi dan tenang. Keduanya, aku tidak punya. Sialnya, aku bahkan tak berusaha untuk punya.
Jadi, aku memaksimalkan, meski tetap tak bisa maksimal-maksimal juga, menggunakan aplikasi Fruity Loops. Aku tak mencoba lebih jauh, mengeksplor aplikasi ini sejauh mana ia bisa. Kupikir aku harus. Hanya saja di saat bersamaan, aku bisa cukup puas, atau bahkan merasa musik yang kuhasilkan menggunakan FL itu sudah sempurna di telingaku. Ini poin penting dalam berkarya: yakni penciptanya harus lebih dulu bisa terpuaskan oleh karya yang ia buat sendiri. Dan aku merasa begitu.
Namun untuk menembus pasar musik yang sebenarnya, aku rasa takkan pernah bisa (untuk saat ini). Keadaan sudah cukup terpuaskan tadi membuatku stagnan. Ya sudahlah, begitu saja. Toh, aku sudah menikmatinya. Makanya aku takkan pernah mencapai pasar musik dalam negeri. Mungkin suatu saat nanti, saat aku sudah tua, sudah berkeluarga, dan melakukan kegiatan bermusik lebih baik dari sekarang. Entahlah.
Hanya saja, terkadang niat ingin diapresiasi itu mengganggu. Terlebih bila aku membuat karya lagu yang kupersembahkan untuk seseorang. Jadi bukan untuk telingaku saja. Dalam beberapa kasus, aku justru kecewa. Ini masalah selera saja, mungkin. Atau lebih buruknya, aku memang tidak bagus dalam hal ini. Karena hal itu, seringnya merasa down. Rasanya ingin dengar seseorang berbohong saja. Mungkin itu lebih baik ya? :D
Seratusan judul lagu yang telah kubuat sejak tahun 2009. Sudah 7 album yang mana semuanya masih dengan nama Chris Othersides. Kupikir itu suatu pencapaian tersendiri untuk ukuran seseorang yang membuat segalanya sendirian dengan menggunakan sebuah laptop. Apalagi di lingkunganku, tidak ada yang bisa melakukan hal yang telah kulakukan itu. Aku cukup berpuas diri, pada satu titik.
Kembali ke warna musik, aku sangat terpengaruh pada gaya band Sheila on 7 dalam berkarya. Beberapa orang bilang caraku bernyanyi sangat meniru Duta, aransemen musikku berporos pada musik Sheila on 7. Bagiku itu merupakan pujian. Sependengaranku, tidak ada band baru di Indonesia yang seperti So7. Apakah musik mereka tidak asyik? Jelas bukan. Fans mereka sangat banyak, bahkan hingga kini. Apakah musik mereka tidak cocok lagi dengan jaman sekarang? Ah, rasanya juga bukan. Album baru mereka penuh dengan musik yang oke, nyaman, nikmat di telinga. Mungkinkah musik mereka terlalu bagus, hingga sulit bagi band-band baru menirunya? Kenapa pop melayu ala Noah, Ungu, Setia Band, dll, yang merajalela? Oh, kalau musik mereka yang solo, aku rasa monoton juga. Kurang variasi dan cenderung tak ada sisi yang bisa dipelajari. Penyanyi solo jelas bicara vocal. Beda dengan band yang harus mengusung semua aspek; vocal dan aransemen musik. Band yang bisa lebih dinikmati musiknya daripada solo.
Sheila on 7 sendiri punya aransemen yang khas. Instrumen yang mereka gunakan juga variatif. Band-band lain, di jamannya, juga punya ciri yang membedakan satu dengan yang lain. Hal-hal itu asyik banget buat dipelajari.
Namun yang sedikit aneh adalah, di dalam negeri, musik-musik band dari luar cukup dipuja. Banyak yang suka. Lihat saja, seringkali band-band luar itu diundang untuk manggung di Indonesia. Heran saja, dari sekian banyak genre musik yang band-band itu usung, yang berjaya cuma Jazz. Berjaya dalam arti warna musik begitu juga cukup menjamur di dalam negeri. Band-band atau penyanyi solo dengan genre Jazz cukup banyak rasanya. Padahal, menurutku Jazz lebih rumit daripada rock alternative semacam Linkin Park. Dulu Kobe sempat muncul, namun tidak lama.
Lalu Sheila on 7 sendirdi serasa tidak ada penerusnya. Juga band semacam Dewa, Gigi, Padi, dan Slank. Mereka seolah mandul, dalam arti tidak punya keturunan. Yang banyak anaknya justru band Ungu, Noah, Setia Band (sebelumnya bernama ST12). Aku bisa saja menyebutkan band-band mana yang musiknya cenderung mirip dengan band-band papan atas di atas. Faktanya, band-band yang banyak diadopsi genre musiknya itu justru musik yang cenderung sama, kurang kreatifitas, dan hampir tak ada lagi yang bisa dipelajari dari musiknya. Oh, tentu saja ini pendapat pribadi.
Dalam hal ini, mungkin aku sendiri kadang merasa bangga bahwa musikku semacam anak So7. Setidaknya dalam beberapa judul. Dan pasti akan terdengar semakin mirip bila aku punya peralatan yang cukup dalam membuatnya. Sejujurnya, aku memang meniru cara mereka mengaransemen, baik itu instrumen maupun ritme. Bila mereka mengeluarkan karya baru, aku menikmati musiknya jauh dari aspek lain. Dan cara Duta bernyanyi merupakan pelajaran dalam melatih kemampuan menyanyiku. Sedikit aku berharap, suatu saat nanti, mungkin ketika aku sudah tidak bermusik (atau mati), seseorang akan mendapati betapa musikku condong pada band asal Yogya itu.
Setelah lebih dari seratus lagu, kupikir aku akan kembali ke titik di mana aku hanya ingin menikmati karya-karyaku. Upaya bisa menghibur siapa saja itu terlalu besar bagiku, terlebih dalam keadaan peralatan tidak mendukung. Maka, pengharapan-pengharapan lain dalam bermusik itu, dengan sendirinya mengecil, menyisakan pada kepuasan diri sendiri. Begitu saja, kupikir aku akan bahagia. Warna musikku tidak pernah khusus atau unik, memang. Aku tak mengupayakan pada suatu genre, melainkan mengaransemen bagaimana musiknya enak di telingaku sendiri. Jika ditanya, aku tetap menyebut pop. Mungkin itu saja sudah cukup :)
November 2013
No comments:
Post a Comment