Thursday, January 12, 2012

Chris Othersides dan Notes

04.120112.02.24

Maafkan aku yang meninggalkanmu
Kucoba berlari, mengejar mimpi
Karena kusadari sepenuhnya
Kau pantas dapatkan yang terbaik di hidupmu

            Itu adalah lirik, persisnya penutup laguku yang berjudul Coba Merelakan. Lagu ini bisa didownload melalui situs berbagi file 4shared.com atau di reverbnation.com. Coba Merelakan (CM) bercerita tentang sebuah penggalan kisah cintaku. Aku tak mau mengatakannya sebagai pembenaran atas hal yang kupilih, meskipun itu terdengar jelas dari liriknya. CM berdurasi empat tiga puluh sembilan detik, yang mana pada intro aku memasukkan penggalan chorus dari laguku yang lain: Akhirnya Kau Tahu. Terdengar sebagai sebuah respon atau inspirasi dari lagu tersebut. 

            Akhirnya Kau Tahu (AKT) merupakan lagu yang kuciptakan dengan berdasarkan chorus ciptaan Fisca. Ia mencipta chorus tersebut dan aku menjadikannya utuh. AKT juga ada di kedua situs yang sudah aku sebutkan di atas. Siapapun boleh mendownload lagu-laguku. Jadi jangan khawatir. Hehehe.

            Dan, mungkin kedua lagu tersebut terdengar galau. Waktu aku menulis notes ini, keduanya menemani, bergema di kedua telingaku. Membawa penyanyinya ke dalam masa-masa saat penciptaan, lagu AKT, berhasil membuatku galau. Jadi, tema kali ini ada tiga hal, yakni galau, galau dan galau. Kenapa galau, bagaimana terjadinya galau, dan apa manfaat galau, akan coba kupaparkan dalam tulisan curhat yang pasti tak pendek ini. Semoga siapapun yang membacanya tidak sampai protes karena letih atau hal lain yang tak bisa diterka pelaku galau. Yang pasti, aku hanya mencoba mengutarakan apa yang kurasakan.

            AKT, bisa kusebut sebagai lagu dan musik terbaik yang pernah kubuat (dari 2008 sampai Januari 2012). Hingga pada masanya, lagu CM juga kuanggap yang terbaik. Keduanya bercerita perpisahan. Tepatnya perpisahanku dengan gadis yang sudah kupacari selama kurang lebih enam tahun. Hubungan kami sangat mesra dan waktu-waktu yang berlalu begitu saja semakin membuat kami saling mengenal satu sama lain. Ia mengenalku lebih cepat. Sedangkan aku, kuakui, harus berusaha lebih keras. Bukan pada sosoknya sulit dipahami, melainkan aku yang kurang cerdas mengerti akan dirinya. 

            Jadi, singkat cerita, hubungan kami berulang kali putus-nyambung seperti layangan. Aku suka layangan, tapi bukan berarti aku menikmati kisah cintaku seperti hal itu. Seperti orang lain yang menginginkan keharmonisan dan kemesraan yang tak henti dalam hubungan berpacaran, seperti itu juga aku. Rasanya aku sangat mencintainya. Maksudku, aku memang sangat mencinta gadis itu. Aku bahkan, dalam hati, membuat ikrar bagi diriku sendiri: untuk tidak menikahi gadis lain selain dia. Dan setelah tahun-tahun berganti, dengan begitu banyak pertengkaran di antara kami, hingga yang berujung putus-nyambung, ikrarku masih saja kuat. Entahlah. Mungkin karena aku tak melihat atau membuka mata pada gadis-gadis lain di sekitarku.

            Tapi pada dasarnya aku tidak terlalu tertarik menjalin benang hubungan yang baru dengan cinta yang lain. Mungkin saja ini pengaruh usia yang tak lagi muda. Dan kuharap bukan, sebab rasanya lebih baik aku tak melakukannya karena didasari sebuah kecintaanku pada sosok Fisca yang sudah begitu besar dan tak terganti. Ia tahu itu. Namun bilapun ia tak tahu, aku sudah berusaha untuk mencukupi diriku dengan bahagia, karena bisa mencinta dan berikrar terhadapnya: cinta.

            Hubungan kami retak karena salahku. Aku tak kuasa menyakiti diri. Mungkin yang kurasakan hanyalah hampa seperti ruangan tanpa bobot yang kuciptakan sendiri. Hal itu membuat banyak kisah yang sejatinya indah, malah berjalan kacau. Saat kutulis ini, ia berstatus pacar seseorang. Dan faktanya, aku juga demikian. Masing-masing sudah menjalin hubungan. Ia mencintai cowoknya, dan aku (seharusnya) juga mencintai cewekku. Kami sebisa mungkin menjalani hubungan kami masing-masing dengan keberpasrahan pada Tuhan. Jika Ia memang berkehendak, takkan ada yang sanggup menghalanginya.

            Dan bukan bermaksud mellow, aku sedang galau. 

Setelah beberapa bulan tba kembali di Medan, awal 2012 Fisca kembali meneleponku. Private number. Memang, kami sempat bertemu dua atau tiga kali pasca hubungan kami putus. Aku ingat waktu itu, ia masih dengan senyumnya yang indah, menyapaku dengan tatapan murung. Entahlah, aku hanya berhasil mendapatkan kata itu. Aku yakin kesulitan menggambarkan keadaannya. Maksudku, raut wajah F. Ia sungguh menawan dengan senyum khas dan tatapannya yang teduh. Bisa kubilang kalau F memiliki mata yang paling indah yang pernah aku lihat. Tajam dan penuh pengertian. Seperti sifat dasarnya.

            Kemungkinan besar ia menyebutkan gombal karena menulis seperti itu. Ia berulang kali mengatakannya. Tapi aku tak gombal. Bagiku F adalah segalanya. Bahkan selamanya sampai aku berani punya ikrar ingin menjadikannya isteriku kelak. Kenyataannya ikrar begitu sangatlah sulit bagiku di usia di bawah 24 tahun. Aku begitu egois dalam memahami sifatnya. Ditambah pula dengan keinginanku menjadi penyanyi, yang sedikit banyak tidak ia dukung. Pasalnya, kemungkinan besar aku bisa besar kepala dan malah melupakan dirinya. Hal ini terbukti sampai beberapa kali, dimulai dengan larangan untuk tidak menyapaku di facebook. Alasan konyolku adalah aku tak mau membuat teman-temanku menjadi tak nyaman jika pacarku cukup aktif di dinding facebookku. Sadar atau tidak, hal itu membuat F merasa tak diakui. Tentu saja. Dan itu bisa dibilang sebagai petaka yang paling besar dalam hubungan kami.

            Di luar dari semua itu, aku tak harus berbohong atau menggombal untuk mengatakan betapa aku mencintainya. Tetapi semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Dan beberapa kesalahan takkan bisa dimaafkan. Meskipun bisa, keadaan tak selalu mendukungmu. Makanya, ada yang mengatakan cara yang terbaik melewati hal tersebut adalah menerimanya dengan sepenuh hati. Suka cita dan berserah pada pemilik sah takdir manusia: Tuhan.

            Sialnya, Tuhan mengenalkannya pada seseorang. Adilnya, Ia juga mengenalkanku pada seseorang yang lain.

            Seiring waktu, sejak September sampai Januari, aku menjalin hubungan baru dengan seorang gadis. Tak ada yang patut kubanggakan selain aku mengecewakannya. Mungkin aku pembohong yang lihai. Tapi aku tak bisa membohongi hati kecilku. Melalui tulisan, status facebook, SMS dan pembicaraan telepon, aku bilang aku mencintai perempuan ini. Maka terkutuklah aku sebagai laki-laki yang tak pernah bisa melupakan ikrarku pada F. Aku terlalu mengenalnya dalam beberapa tahun belakangan. Dan aku harus menjalani ini dengan sebaik-baiknya.

            Suatu masa, dan ini pasti, aku merasakan kerinduan pada sosok F yang pernah mengisi hari-hariku. Ia membuatnya begitu indah, sempurna dengan warna-warni cinta. Aku menemuinya beberapa kali, mengiriminya SMS, dan mengajaknya makan malam. Bahkan aku kembali membelikannya es krim, seperti masa lalu. Orang berkata, jatuh cinta hanya sekali. Tapi ketika melihat F, aku jatuh cinta lagi dan lagi. 

            Pada dasarnya, aku datang dan hanya membawa kesulitan baginya. Tentu saja. F tak ada masalah dengan pacarnya. Begitu juga dengan aku dan pacarku. Tapi kehadiranku tentu membuatnya bimbang lagi. Beberapa waktu sebelum Natal aku juga merasakan hal ini. Maksudku, aku sempat berpikir untuk tidak mengharapkan F lagi. Aku akan menjadi sangat terkutuk bila membawa F ke dalam bimbang. Ia akan kesulitan. Ia akan kepikiran. Dan akulah yang bertanggung jawab. Aku memang egois dan tak berperasaan. Untuk apa? Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya kembali mendapatkannya. Aku tak memikirkan bagaimana F bimbang. Kupikir, ia tak harus begitu. Sebab bagaimanapun ia bisa melihat kenyataan. Aku adalah pemuda masa lalu, yang kerap meninggalkannya di saat-saat sulit. Sementara pacarnya mencintainya dan tak pernah melakukan kesalahan. Mereka mesra, setidaknya aku merasa begitu.

            Aku harus pergi lagi, kupikir. Aku harus benar-benar meninggalkan F. Hanya saja kali ini ia tak sendiri. Pacarku yang sekarang juga harus kutinggalkan. Sangat tak adil baginya mendapati perhatianku, sedangkan hatiku berada di dalam dunia lain yang semu dan tak berbatas. Tak ada batas waktu. Tak ada janji atau garansi ketika menunggu. Dan aku tak mau dan tak ingin memberikan harapan palsu pada pacarku itu. Ia, sejauh yang aku tahu, begitu menyayangiku. Ia merindukanku setiap saat, berusaha menanyakan kabarku, mendengar suaraku dan memberikan perhatian yang cukup sekalipun kami terpisah jauh.

            Dan aku berada pada dilema.

            Jika berbicara dilema, tentu efeknya adalah galau. Dan dilema yang kuhadapi adalah 1) menunggu F tanpa janji apa-apa, dan 2) menjalani dengan pacarku tanpa didasari perasaan cinta sepenuhnya. Aku condong pada dilema yang pertama. Tapi dengan begitu aku harus mengecewakan pacarku yang sudah begitu menyayangiku. Kami akan putus dan aku menunggu F kembali tanpa kepastian. Sedangkan jika dilema yang kedua adalah aku mengubah diriku sedemikian rupa bagai patung batu sambil berharap cintaku pada F sirna tak berbekas dan berubah menjadi cinta pada pacarku itu. Tapi ikrar di hatiku ini, rasanya menjadi kotak harta karun yang tak bisa hancur oleh waktu.

            Aku ingat dulu, pada akhir tahun 2010, dengan tangis meminta sesuatu dalam doa: agar cintaku dibekukan ke dalam kotak besi. Hatiku dikunci dan kuncinya diselipkan pada mimpi F. Hanya dirinya yang bisa membukanya. Kalau ia tak buka, maka selamanya cintaku seperti itu. Entahlah. Rasanya doa itu terkabul.
             
Walaupun begitu, aku dihadapkan dilema harus membuat sakit hati pacarku yang sekarang. Galau ini seperti candu. Sungguh. Terkadang memberikan sesuatu yang positif seperti ide mencipta lagu menjadi bagus. Beberapa laguku begitu aku suka karena kuciptakan pada masa-masa sulit seperti ini. Di antaranya Tentang Mimpi, Perhentian Terakhir, Bila Malam Datang, Akhirnya Kau Tahu, Tetap Istimewa, Laut Menunggu, Coba Merelakan dan lain sebagainya. Dan jika aku harus memilih mengorbankan perasaan pacarku, maka sebaiknya aku lakukan secepat mungkin sebelum cintanya semakin dalam. Lukanya pasti akan begitu perih jika aku terlambat. Sementara itu aku hanya bisa menunggu ketidakpastian hubungan F dengan pacarnya, sekalipun ia bilang masih merindukanku, menyayangiku, mencintaiku. 

            F sudah memaafkan kesalahanku. Tapi ia tak ingin menyakiti orang yang menyayanginya (pacarnya sekarang). Dan aku bisa mendengarnya dengan tenang dan tegar. Lucu, karena kupikir akulah yang paling menyayanginya dari semua laki-laki yang bisa melakukan hal yang sama padanya. Aku tersenyum mendapati kenyataan ini. Mungkin hambar atau perih. Hatiku beku. Entahlah. Pada dasarnya, aku memang terlambat menyadari cintanya yang takkan terganti itu.

Ketika akhirnya kau pun tahu
Cintaku takkan pernah terganti
Ku telah berlalu membiru bersama rindu

            Itu adalah lirik chorus AKT yang F ciptakan. Ia memang sudah berlalu, menyisakan rindu yang perih. Dan aku menyesal telah meninggalkannya.

Namun, cintaku adalah ikrar. Sejak awal hanya F yang mampu membuatku bertekad seperti itu. Ia tahu dan aku juga tahu perasaanku padanya. Hanya saja beberapa hal memang harus berubah. Aku tak menyesal mencintainya. Tak menyesal membuat ikrar hanya menikahi seorang dirinya. Saat ini cintaku ya, seperti ini. Mungkin kami dicipta serasa tapi tak harus bersama (lirik lagu Tak Pernah Nyata). Dan kita tak pernah kuasa menerka apa yang direncanakan pemilik takdir. Ia punya jalan sendiri, Ia punya solusi sendiri.

            Pada akhirnya aku merasakan galau dan berharap bisa kembali membuat karya-karya yang bisa dinikmati siapa saja. Aku bersyukur juga padaNya. Entahlah. Di balik galau dan bimbang padaku, Ia tetap memberikan bentuk positif bagaimana itu bisa berubah menjadi sesuatu yang berharga: karya.

            Dan pacarku sekarang, aku harus menyelesaikan hubungan kami secepatnya. Sebelum terlambat. Ia past terluka. Dan itu akan terjadi dan lebih baik tidak terlanjur larut. Aku bingung bagaimana menyampaikannya. Saat ini ia begitu merindukanku. Kami terpisah tiga jam perjalanan pesawat. Dan dalam hubungan kami, ia sedang menunggu kedatanganku ke Jakarta untuk kedua kalinya. Apa yang harus kulakukan adalah berserah dan perlahan-lahan menyampaikan kenyataan ini padanya. Sebisa mungkin ini adalah masalah kami berdua tanpa melibatkan F. Meskipun, aku pernah berkata, kita tak mungkin membahagiakan setiap orang. Beberapa orang gembira, sisanya bersedih. Dan untuk semua itu, aku sangat menyesal dan meminta maaf. Entahlah jika itu berfungsi.




Selamat pagi

No comments:

Post a Comment