andi tersengal-sengal. Ia berusaha melihat ke bawah jembatan. Gelap. Ia tak bisa melihat apa-apa. Degub jantungnya memacu, berdebar-debar seolah-olah rongga dadanya tak mampu meredam debaran itu. Saat memalingkan wajahnya dari gelap keadaan sungai untuk melihat ke sekeliling, deguban itu semakin cepat. Semakin liar tak terkendali. Susah payah Fandi bernapas dengan tenang. Aman, pikirnya. Namun seluruh ketakutannya seperti pecah saat melihat seseorang tak jauh dari tempatnya berdiri. “Siapa?” tanya Fandi tergagap-gagap. Keringat sudah membanjiri sekujur tubuhnya.
Ia merasa mengenalinya meski tak yakin. Laki-laki itu mematung sambil sesekali tertunduk ke bawah jembatan. Ia hanya bisa mendengar suara arus air bergema. Lalu butiran abu turun. Laki-laki itu mendongak ke langit malam sambil menengadahkan kedua tangan. “Abu dari letusan Kelud,” katanya.
“Anda siapa?” tanya Fandi setengah berteriak.
“Bukan siapa-siapa.”
“Anda melihatnya...?” Fandi sengaja tak melengkapi pertanyannya tapi ia ingin tahu apakah ada saksi mata. Apakah ada yang melihat perbuatannya beberapa menit yang lalu. Pukul dua dini hari. Orang tua macam apa yang keluar di waktu seperti ini? Debar-debar itu tak kunjung mereda. Masalah lain baru saja muncul setelah satu sebelumnya sudah hanyut terseret arus deras sungai.
Lawan bicaranya masih terpekur memandangi abu yang turun seperti salju. Ia membersihkan beberapa yang menempel di pakaiannya. Lalu berkata: “Saya mengikuti kalian.”
“Brengsek! Kau siapa?” Fandi tak mampu lagi bersikap tenang. Laki-laki itu sudah mengintimidasinya dengan ketenangan yang ia tunjukkan. Persetan! Kalau perlu, dia juga akan bernasib sama dengan Agung!
“Saya melihat kalian berkelahi: Anda dan pemuda yang mayatnya pasti sudah jauh terseret arus sungai ini entah ke mana. Anda takut saya melapor?”
Sudah jelas. Fandi menerkamnya. Tak mempersiapkan diri akan ancaman, orang tua itu bisa mendengar suara tempurung kepalanya menghantam pegangan jembatan yang terbuat dari besi. Ia meringis tapi tak berusaha melawan. Lalu Fandi mencekik lehernya. Orang itu kesulitan bernapas. “Kalaupun kau mau melaporkanku, kau harus membunuhku lebih dulu.” Fandi membisikkan itu ke telinganya.
Sekian detik. Orang itu tak berdaya. Meronta lemah. Kedua tangannya memegangi tangan Fandi tapi tak mampu melepaskan diri. Bola matanya berkedip-kedip menampakkan bagian putihnya saja. Sementara giginya terlihat jelas oleh Fandi. Abu letusan Kelud semakin banyak berjatuhan. Saat itulah Fandi melepaskannya. Ia mengenal orang tua itu.
Tergopoh-gopoh, ia menarik napas di antara batuknya. Nyawanya urung melayang. Masih berlutut, ia sama sekali tak berniat melakukan serangan balasan. Fandi mengetahui itu lalu serasa segenap air matanya tumpah. Ia berteriak mendongak ke langit. Suaranya berangsur-angsur ditelan gelap dini hari. Hening. Fandi menjatuhkan dirinya, duduk bersandar pada besi pengaman di pinggir jembatan, persis di samping orang tua itu. Fandi tertunduk. Kelelahan.
“Itu bukan sepenuhnya salah saya,” katanya setelah beberapa menit berusaha meredakan tangis. “Apa yang terjadi malam ini adalah puncak dari segala beban. Saya kalap. Tak bisa mengelak. Tapi Agung brengsek itu memang sudah gila! Sedetik setelah tubuhnya jatuh, saya berpikir sudah melakukan hal yang benar dengan cara yang buruk.”
“Saya tahu. Saya berada di sana.” Orang itu menyahut setelah kembali bernapas secara normal. Ia menemani Fandi duduk sambil menatap ke jalan yang sudah sepi. Menatap butir-butir abu yang berjatuhan. “Orang-orang menyebut saya Hantu Jendela.” Ia memperkenalkan diri.
Fandi menghela napas. “Saya menyadarinya setelah melihat gigi emas Anda.”
Orang itu sudah tua. Ia tertawa dengan cara yang aneh. “Ini wujud kasih sayang anak bungsu saya. Ia seorang dokter gigi, membuatkan saya gigi palsu dari emas. Katanya ini lebih baik daripada harus memasukkan saya ke panti jompo seperti anjuran dua anak saya yang lain.”
“Mereka tak mau tinggal bersama Anda?”
“Si Sulung dan si Bungsu sudah punya keluarga yang harus dipikirkannya masing-masing. Anak kedua pergi jauh. Ia memang sedikit berbeda. Si Bungsu selalu mengirimkan uang untuk biaya kehidupan saya sehari-hari. Saya tak tahu dari mana ia bisa menyisihkan uang sebanyak itu. Dulu, saat ia memutuskan untuk kuliah kedokteran gigi, saya satu-satunya yang menentangnya. Isteri saya tidak. Saya tanya, ‘Kenapa tak jadi dokter umum saja?’ Uang mereka lebih banyak. Siapa yang mau memeriksakan giginya ke dokter gigi? Orang-orang di jaman saya dulu tak butuh dokter gigi. Kami bisa merawat gigi kami sendiri.”
Entah bagaimana Fandi merasa itu cerita yang lucu. Ia tertawa dengan mimik yang aneh. Rasanya sudah lama sekali. Ia mengingat seseorang di masa lalunya. Seorang teman. Mungkin mantan kekasih. Atau malah ibunya. Air mata masih mengalir di pipinya saat ia tertawa. Namun baginya itu malah melegakan.
Hantu Jendela lalu bertanya: “Apakah seseorang akan menemukan mayatnya?”
“Entahlah. Kalau pun ditemukan lalu polisi menangkap saya, saya sudah tak peduli. Biarlah. Mungkin lebih baik dipenjara. Hidup sudah membosankan.” Lalu Fandi merogoh sakunya, mengeluarkan telepon seluler. Orang tua yang ia sebut Hantu Jendela itu hanya memperhatikan.
Beberapa saat sampai seseorang di kamarnya menjawab panggilan telepon itu. “Kau belum tidur?”
“Maaf mengganggu tidurmu. Aku ingin kau datang ke sini sekarang. Di jembatan. Ada yang harus kuceritakan. Penting.”
“Juliana?” tanya Hantu Jendela begitu Fandi meletakkan teleponnya begitu saja.
Fandi menatapnya sedikit keheranan. “Untuk ukuran orang tua yang siang dan malam berada di jendelanya, Anda tahu terlalu banyak. Juliana, pacar saya. Saya merasa perlu berbicara dengannya. Mungkin untuk yang terakhir kali...”
Hantu Jendela diam seolah memikirkan sesuatu. “Apakah ia akan datang dengan keadaan seperti ini?” Ia memperlihatkan butiran-butiran abu letusan Kelud di telapak tangannya.
“Terserah padanya. Bagaimanapun ia akan tahu.”
Lalu keduanya terdiam seperti menikmati hujan abu seolah itu salju. Fandi berkelana dalam ingatannya ke masa lalu saat ia masih di kota asalnya. Jauh. Jauh sebelum ia mengenal Juliana, kekasihnya. Ia bukan dari tempat ini. Ia melarikan diri dengan dalih ingin hidup sendiri. Berbohong pada orang tuanya hanya agar ia bisa pergi. Sekian tahun. Tak terasa sudah memasuki tahun kedelapan. Dia berada di tempat yang tak satu pun dari keluarganya yang tahu. Tidak orang tuanya, tidak juga saudara-saudaranya. Hanya Juliana. Perempuan yang dicintainya setulus hati.
“Akhir-akhir ini kami sering bertengkar.” Tanpa diminta Fandi bercerita. Ia tak tahu mengapa. “Mungkin sudah pertanda bahwa segalanya harus berakhir. Tapi saya tak menyangka akan seperti ini. Maaf, saya tak tahu harus bercerita pada siapa. Tak usah menanggapi.”
“Silahkan. Selama ini tak ada yang mau mengobrol dengan saya. Anak-anak ketakutan karena orang-orang mulai menyebut saya Hantu Jendela hanya karena mereka selalu melihat saya berada di sana. Anak-anak saya hidup mandiri. Saya sendirian.”
Fandi sadar setelah beberapa detik. Ia tak pernah punya teman. Ia mungkin punya beberapa teman mengobrol. Tapi tak ada satu pun yang benar-benar menjadi tempat ia bisa mencurahkan isi hatinya. Bagaimana dengan Juliana? Bukankah dia kekasihnya? Juliana tak harus. Siapa yang mengatakan padamu bahwa kekasih adalah tempatmu menumpahkan segalanya? Fandi tahu. Perempuan itu punya masalahnya sendiri dan tak harus dibebani dengan hal lain. Kini ia semakin merindu. Sesuatu. Atau seseorang. Mungkin karena peristiwa yang baru saja ia alami membuatnya rindu kampung halaman. Mungkin benar saat itu telah tiba: saat ia ingin kembali berkumpul dengan orang tua dan saudara-saudaranya.
“Juliana sudah tak bisa membantu saya lagi. Empat bulan berhenti dari pekerjaan lama saya, hubungan kami mulai memburuk. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin; membagi waktu dan penghasilannya demi menghidupi saya. Saya tahu ia lelah dan ingin segera lepas dari seseorang yang membebaninya. Begitu juga dengan saya. Tak nyaman rasanya jadi beban seseorang.”
Hantu Jendela mengangguk. “Saya bisa paham.”
“Anda mungkin lebih paham bagaimana rasanya. Tapi mereka adalah anak-anak Anda sendiri. Sudah menjadi kewajiban mereka mengurus Anda ketika Anda sudah tua. Kalau bukan anak, siapa lagi? Tapi Juliana berbeda. Ia bahkan belum pernah bertemu dengan orang tua saya setelah lima tahun hubungan kami. Kami berdua tidak berasal dari kota yang sama. Hanya bertemu di kota ini. Tapi ia tetap orang lain. Tak seharusnya ia terbebani oleh siapapun.”
“Saya yakin dia tidak setuju.” Hantu Jendela menanggapi. Ia bisa melihat Fandi sudah mulai tenang, menerawang masuk ke dalam kegelapan di depannya. Fandi sedang mengingat-ingat beberapa kali pertengkarannya dengan Juliana empat bulan belakangan. Puncaknya beberapa jam yang lalu. Juliana sudah muak, seperti yang terucap dari bibirnya sendiri, melihat Fandi tak kunjung mendapatkan pekerjaan baru. Katanya, ia lelah menunggu dan harus membagi lagi penghasilannya untuk bulan berikutnya agar Fandi bisa bertahan hidup.
“Saya kalap. Dia menyebut saya seperti parasit!”
Hantu Jendela menghela napas berat, menunjukkan betapa rapuhnya kini sisa waktunya. “Juliana tak bermaksud begitu. Saya bisa mendengar pertengkaran kalian dari jendela saya. Para tetangga, penghuni yang lain, pasti juga bisa mendengarnya.”
Fandi menggeleng pelan. “Saya sungguh malu. Mungkin saya menyadari saya hanyalah parasit baginya. Mungkin saya terlalu takut...” Air matanya tumpah lagi dan membuatnya membutuhkan beberapa detik untuk melanjutkan kalimat. “Mungkin saya terlalu takut ia mengatakannya langsung. Tapi itulah kenyataan. Saya parasit. Beban. Dan saya menyesal tak mengakui itu dan malah menamparnya. Lalu dia pergi.”
Bersamaan dengan kalimat itu, sebuah cahaya dari lampu sepeda motor muncul dari kejauhan. Hujan abu menjadi nyata terlihat oleh Fandi dan Hantu Jendela. Seseorang mendekati mereka dengan kendaraannya. Agak merayap karena pengemudinya berhati-hati. Fandi dan Hantu Jendela diam memperhatikan Juliana mendekat ke arah mereka. Beberapa menit kemudian, ia sudah berdiri melepas helm dan mengenakan masker.
“Apa yang kaulakukan di sini, Fan?” Juliana tergopoh-gopoh mendekat. “Apa yang terjadi?” tanyanya panik. Ia menggoyang-goyangkan kedua bahu Fandi seolah berusaha menyadarkannya dari mimpi buruk. “Kenapa kau berkeringat? Kau menangis?”
“Tak apa-apa. Aku memanggilmu ke mari karena aku mau bilang sesuatu. Jul, aku mau minta maaf karena telah menyakitimu. Terlebih lagi karena telah menjadi bebanmu selama beberapa bulan belakangan.”
Juliana mendekapnya, membelai lembut bagian belakang kepala kekasihnya. Air mata Fandi mengalir lagi. Dalam dekapan Juliana, debar jantungnya yang berirama, ia menangis tersedu. Kehangatan membuatnya serasa menemukan rumah. Ia ingin tertidur saja di pelukan itu seolah ia tak pernah tidur sedetik pun dalam hidupnya. Namun Juliana belum cukup paham apa yang dilakukan Fandi di tempat seperti ini. “Aku tak mengerti,” katanya sambil melepaskan pelukan.
Menyeka air matanya, Fandi menatap Juliana lekat-lekat. “Kau tahu Agung yang kuceritakan beberapa waktu yang lalu?” ia bertanya.
Juliana mengernyit: “Kenapa dengannya?”
“Preman yang berpacaran dengan Susi, yang suka mabuk-mabukan dan melempar botol minumannya ke dinding kamar kosku, dia sudah mati. Mayatnya kubuang ke sungai itu.”
Juliana membutuhkan beberapa saat untuk mencerna perkataan kekasihnya. Kedua bola matanya di balik kacamata itu tak berkedip. Untuk sesaat ia bisa mendengar napas Fandi. “Aku tak mengerti, Fan. Maksudmu apa?” Juliana tak ingin menanyakan itu meski akhirnya meluncur dari mulutnya.
“Mereka berkelahi.” Hantu Jendela, yang sejak kedatangan Juliana hanya duduk diam memperhatikan, mengambil alih tongkat cerita. “Tadi, jam dua belas lewat lima menit, saya tahu karena saya selalu berada di dekat jam tua hadiah ulang tahun perkawinan saya yang pertama untuk mendiang isteri saya, Agung dalam keadaan mabuk menggedor-gedor pintu kamar Susi, pacarnya itu.”
Juliana mendadak pusing. Apa hubungannya Agung dan Susi dengan Fandi? “Kau membunuh Agung? Kau mabuk? Kau minum-minum dengannya lalu kalian berkelahi? Ya, Tuhan. Apa yang terjadi?!” Juliana berteriak agak kesal.
“Tenanglah. Sudah berakhir. Setelah kau pulang tadi aku berusaha menenangkan diri dengan mencoba tidur. Tapi rasa sesalku terlalu besar. Kata-katamu terngiang-ngiang di kepalaku. Aku minta maaf, Jul. Aku tak tahu harus berbuat apa. Menjadi pengangguran bukan masalah besar buatku. Tapi entah bagaimana setelah pertengkaran kita beberapa jam yang lalu membuatku gelisah. Dan seperti yang pernah kuceritakan, Susi penghuni kos di seberang kosku, berpacaran dengan Agung. Mereka—”
“Kau berpacaran dengan Susi?”
“Jangan salah paham. Aku tak selingkuh. Agung mabuk. Seperti biasanya. Ia teriak-teriak meminta Susi membuka pintu gerbang kosnya. Susi takut dan menyuruh Agung pulang. Tapi tak terima dengan itu, Agung malah marah. Aku tak sengaja mendengarnya karena sulit tidur. Sudah kesal karena pertengkaran kita, muncul pula Agung yang seperti itu. Puncaknya ia melempar botol minumannya karena kesal tidak diijinkan masuk oleh Susi. Dan coba tebak! Ia melempar botol itu ke dinding kamarku. Aku kaget dan tanpa pikir panjang lagi aku mendatanginya. Lalu kami bertengkar.”
“Dan karena itu kau membunuhnya? Ya, Tuhan! Hanya karena itu kau membunuhnya? Kau sudah sama gilanya dengan dia!”
“Aku tak bermaksud membunuh! Melihat kami bertengkar, Susi keluar dan melerai. Semuanya akan baik-baik saja kalau Agung brengsek itu berhenti mengoceh dan pulang ke rumahnya. Tapi ia malah menantangku. Dan di sinilah kami. Berkelahi seperti laki-laki sejati. Mungkin karena mabuk, perkelahian jadi tak seimbang. Aku membanting tubuhnya lalu ia tak bergerak lagi. Tak ada napas. Tak ada detak jantung.”
Juliana menangis tiba-tiba. Ia bangkit. Berjalan ke sana ke mari. Panik tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Segenap dunia rasanya jatuh dan menimpanya. Ia berhenti dan memandang Fandi yang tertunduk. Lalu ia berlutut. Kedua tangannya bertumpu di bahu kekasihnya itu: memukul-mukul lemah tak berdaya. “Apa yang telah kaulakukan, Fan?” Juliana meratap di sela isak tangis—bertanya lebih karena tak habis pikir kekasihnya bisa melakukan perbuatan itu. “Aku hanya minta kau berhenti menganggur dan mendapatkan pekerjaan. Lalu ini yang kaulakukan, ha? Marah karena seseorang membuat keributan, berkelahi, dan membunuhnya. Kau mau aku bagaimana, Fan...? Aku hanya menyarankan yang terbaik untukmu. Dan kau merasa terbeban karena itu? Aku memikirkan keadaanmu! Lalu apa? Begini caramu mengatasi situasi? Fan... aku harus bagaimana lagi kalau sudah begini?”
Demi melihat kekasihnya menangis, Fandi merasa sesal tak terhingga. Ia turut menangis ketika Juliana jatuh ke pelukannya. Tak mampu berkata apa-apa. Bibirnya bergetar. Dadanya sesak seakan jantungnya sengaja urung meledak demi membuat sakitnya lebih menyiksa. Sementara itu Hantu Jendela diam memperhatikan sepasang kekasih itu menangis. Jauh di dalam hatinya ia bisa merasakan kesedihan, kekhawatiran, dan penyesalan. Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia telah terbiasa hanya duduk memperhatikan. Di balik jendelanya. Sepanjang hari bahkan hingga malam. Bertahun-tahun.
“Kau marah padaku kan? Fan, aku minta maaf kalau kata-kataku telah menyakitimu. Aku memang terlalu memikirkan biaya ini dan itu. Aku yang salah... Mungkin karena segala kebutuhan sudah terlalu sulit untuk kupenuhi sementara kau tak kunjung dapat pekerjaan. Benar aku khawatir, Fan. Aku sangat khawatir. Tapi bagaimanapun kita harus memikirkan tentang uang kan? Ya Tuhan, Fan. Tapi tak mengapa.” Julian melepaskan pelukannya dan memegangi kedua pipi Fandi. Tersisa isak, Juliana mencoba tegar. Menatap kedalaman mata kekasihnya yang sayu. “Lihat sini, Fan. Iya, sungguh tak mengapa,” katanya melanjutkan. “Kau boleh menganggur sesuka hatimu. Iya. Tak mengapa, Fan. Seberapa lama pun kau ingin. Aku akan tetap membiayaimu dengan gajiku. Aku ikhlas! Aku janji! Aku takkan lagi menyuruh-nyuruhmu untuk bekerja. Aku bisa bekerja sendirian.” Lalu tangisnya pecah lagi. “Tapi jangan begini, Fan. Ini benar-benar yang tak bisa kutangani. Kau akan dipenjara dan aku harus bagaimana tanpamu? Fan... Jawab aku! Jawab!!!”
Samar, Juliana bisa mendengar Fandi berkata: “Maaf. Akulah yang salah...”
Dan begitu saja perasaan rindu kampung halaman merasuk dan kini memenuhi rongga dada Fandi. Sekalipun ia mengakui melalui ucapannya pada Juliana bahwa ia salah, sesungguhnya ia menginginkan perlindungan. Ia takut. Dan saat ini, ia ingin dipeluk seseorang. Juliana. Orang tuanya. Ia merindukan masa kecil ketika berbuat salah terhadap anak lain, ibunya akan tetap melindunginya. Sekalipun pada akhirnya ia dihukum juga setelah mereka tahu duduk persoalan. Fandi ingin pulang. “Aku hanya sumber masalah bagimu, Jul. Aku tahu dan mungkin inilah jalan agar kau bisa lepas dariku. Sekarang aku minta kau melakukan sesuatu dengan benar. Laporlah ke polisi. Katakan apa yang telah terjadi agar mereka datang menangkapku dan mengeluarkan mayat Agung dari sungai. Aku tak tahu seberapa jauh ia terseret arus tapi mereka akan menemukannya. Kau harus lapor polisi, Jul. Aku ingin melakukannya sendiri tapi aku tak sanggup.”
Juliana terkesiap. “Kau gila? Aku tak mungkin melaporkanmu.” Perlahan ia berhenti menangis.
“Jangan begini, Jul. Aku telah membunuh seseorang. Susi akan berduka karena Agung mati. Sekalipun mereka sering bertengkar dan Agung sering memukul, ia tetap pacarnya. Ia telah kehilangan seseorang yang dicintainya karena aku. Kau harus lapor polisi, Jul.”
“Aku tak mau!” Juliana tetap menolak.
“Jul...”
“Biarlah polisi menangkapmu atas laporan orang lain. Aku tak mau melaporkan pacarku sendiri!”
“Tolong, Jul...” Fandi memohon.
“Tidak!!!” Suara Juliana seakan pecah. Ia menampar Fandi seolah ingin menyadarkannya. Lalu perlahan air mata mulai menggenang lagi di pelupuk matanya. Getar di bibirnya menandakan ia sedang meredakan ketakutan besar. Apa yang akan terjadi setelah ini?Juliana takut dan memeluk Fandi: mencoba memberikan ketegaran di saat ia sendiri butuh itu. Lalu ketakutan demi ketakutan mulai menguasai pikirannya. Ia tak akan menurut. Ia tak mau memasukkan dirinya sendiri ke dalam ketakutan yang akan menemaninya setelah ini. Ia tak tahu akan berapa lama. “Kita akan lewati bersama-sama,” katanya terdengar jelas di telinga Fandi.
“Apa maksudmu, Jul?” Fandi melepaskan diri dari pelukan Juliana. Ia memegangi bahu kekasihnya itu. “Apa maksudmu?”
“Aku tak mau kehilanganmu, Fan. Bagaimana pun marahnya aku padamu karena kau tak kunjung mendapat pekerjaan, aku tetap mencintaimu. Aku tetap ingin menikah denganmu. Aku hanya sempat merasa kau membiarkanku berusaha sendirian, bekerja, sementara kau tenang-tenang saja di kamar kosmu, meminta uang padaku untuk biaya hidupmu sehari-hari.”
“Itu sudah kita bahas saat bertengkar beberapa jam yang lalu. Dan aku bilang bahwa itu tidak benar, Jul. Aku sedang tertekan saja dengan hidupku. Dan tak perlu kau ragu betapa aku juga mencintaimu. Kau tahu, karena kita bertengkar akhir-akhir ini, aku memikirkan banyak hal. Termasuk soal pekerjaan, pernikahan, mimpi indah kita. Aku jadi sering berpikir kenapa kita tidak seperti masa lalu saja. Saat pertama kali bertemu lalu jatuh cinta: kita tak memikirkan apa pun selain bisa bersama. Itu membahagiakan. Saat-saat yang kini sangat kurindukan. Kita tak memikirkan bagaimana hidup akan kita jalani nanti, segala hal tentang kebutuhan. Persetan semua itu! Dan, Jul, aku mengaku aku memang telah gagal; padamu, orang tuaku, saudara-saudaraku, terutama dalam hal menjadi yang bisa dibanggakan. Tapi aku tak pernah gagal menunjukkan betapa aku tulus mencintaimu. Aku hanya tak mengerti mengapa itu tak pernah cukup. Imbasnya aku kehilangan akal sehatku dan marah. Terpancing emosi. Aku telah berbuat kesalahan besar.”
Mendengar kata-kata Fandi, Juliana tak kuasa menahan air mata jatuh kesekian kalinya. Terbayang saat pertama kali ia bertemu dengan Fandi. Saat Fandi menyatakan cinta, memintanya menjadi kekasih. Juliana mengingat itu seperti ia melihatnya langsung di pantulan cahaya yang samar di mata Fandi. Ia tak tahu harus berkata apa selain: “Semua orang pernah berbuat kesalahan...”
“Jul! Kau tak dengar kata-kataku. Aku telah membunuh Agung!”
Juliana terhenyak karena kata-kata Fandi yang kini memenuhi pendengarannya. Suaranya seperti lengkingan dan membuat Juliana ketakutan. Ia bernapas gemetar karena dingin. Rasa takut itu mendekat. Semakin dekat dan akan masuk ke pikirannya. Juliana berusaha menolak. Ia berpikir. “Kita bisa membuatnya seperti kecelakaan,” katanya yang bagi Fandi terasa lebih dingin dari udara dini hari.
“Hentikan pikiran itu, Jul! Kau tak bisa...”
“Bisa!”
“Tidak. Jul, dengarkan aku baik-baik. Jul, kau harus lanjutkan hidupmu. Tanpa aku. Kita tak tahu berapa lama aku akan mendekam di penjara karena perbuatanku ini. Kau tak bisa, Jul. Lihat aku. Jul, lihat aku! Kau harus lebih memikirkan kehidupanmu.” Fandi memegangi kedua pipi Juliana yang dingin. Ia bisa merasakan ketakutan yang menjalar di permukaannya.
Namun Juliana seolah tak mendengar perkataan itu. “Kita tabrakkan motornya ke besi pengaman jembatan. Orang-orang akan mengira ia tak melihat jalan karena mabuk atau karena hujan abu mengacaukan pandangannya saat berkendara. Lalu ia kesulitan mengendalikan motornya, menabrak pengaman jembatan, lalu terlempar ke sungai. Menghantam batu. Terseret arus. Kita bisa melakukannya, Fan. Kau tak harus mendekam di penjara...”
Fandi terbengong dengan kata-kata Juliana. Begitu juga Hantu Jendela. Bagaimana mungkin ia bisa memikirkan hal seperti itu? Fandi bisa melihat bola mata kekasihnya bergerak-gerak cepat, melihat ke kiri dan kanan. Melihat jalanan yang sepi tanpa kendaraan yang melintas. Mungkin berita tentang hujan abu letusan Kelud sudah disiarkan di televisi: membuat orang-orang tidak mau keluar dari rumahnya saat kondisi buruk seperti itu.
“Tak ada yang akan mendekam di penjara.” Fandi terkejut mendengarnya. Sesaat ia tak sadar Hantu Jendela masih berada di dekat mereka dan menyaksikan semuanya. Orang tua itu melanjutkan. “Agung memang pemuda dengan segudang masalah serius. Tabiatnya buruk, meski begitu ia tak pantas mati. Tapi yang sudah mati tak bisa hidup lagi. Sementara itu kalian masih memiliki masa depan. Tak usah melapor. Pergilah. Pergi dari kota ini. Cari tempat baru yang jauh. Polisi takkan mau repot memikirkan dugaan pembunuhan kalau melihat situasinya. Tapi motor milik Agung harus kalian tabrakkan ke pengaman jembatan persis seperti yang disarankan Juliana.”
“Anda gila. Susi akan menyadarinya kalau Agung tak lagi muncul. Belum lagi kalau ia dapat kabar Agung sudah meninggal dan mayatnya ditemukan di sungai. Susi melihat saya dan Agung bertengkar!”
“Benar. Tapi apa Susi akan berpikir sampai sejauh itu? Saya rasa tidak. Tabiat Agung memang sudah membuatnya tak nyaman sejak lama. Satu-satunya alasan mereka masih berpacaran karena Susi takut padanya. Ia sering memukul. Saya tahu itu. Dan mungkin Anda tidak mendengarkan hal mendasar yang mereka pertengkarkan. Susi ingin menikah. Orang tuanya sudah mendesak dan Agung bukanlah tipe pria yang akan membuatnya bahagia. Susi sudah menyampaikan hal itu sejak lama dengan caranya sendiri. Namun mereka sering bertengkar karena Agung tak mau menerima kenyataan itu.” Hantu Jendela menjelaskan kisah di balik pertengkaran Agung dan Susi saat air mata di pipi Fandi dan Juliana sudah mengering. Mereka diam mendengarkan orang tua itu berbicara. Sorot matanya begitu yakin. Fandi menduga Hantu Jendela benar-benar mengetahui banyak hal yang ia perhatikan dari jendelanya setiap hari. “Pergilah sekarang. Kalian bisa tidur sebentar dan bangun lebih awal untuk mengejar bus atau kereta api,” kata Hantu Jendela melanjutkan.
“Ini tidak benar. Saya siap mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Sunguh,” kata Fandi masih belum sepenuhnya menerima ide itu.
“Ya, Anda siap karena bagi Anda hidup tak lagi menarik. Di luar sini tak ada lagi yang menyenangkan. Tapi Anda salah. Penjara bukanlah tempat untuk manusia. Saya setuju menghukum orang yang telah berbuat jahat. Tapi benarkah dengan memenjarakannya? Tempat itu sama saja dengan panti jompo! Anda punya kehidupan dan jangan berpikir membiarkan kekasih Anda menghabiskan waktunya sendirian. Ia perempuan berhati lembut. Dan rapuh! Juliana membutuhkan Anda lebih dari yang Anda tahu. Pergilah. Jangan pernah kembali lagi.”
“Ini tidak benar...” suara Fandi sudah hampir tak terdengar.
“Pergi!” teriak Hantu Jendela lalu terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya. “Keadaan di luar sini semakin memburuk. Tak terlihat tanda-tanda hujan abu ini akan segera berhenti. Nak Fandi, pikirkan tentang Juliana. Bagaimana ia akan tersiksa bila Anda dipenjara? Pergilah. Tak apa-apa. Menghilanglah selama beberapa bulan. Setahun. Takkan ada yang mencari. Tak ada polisi yang mau mengusut kasus berandalan seperti Agung.”
Fandi kehilangan kata-kata. Diam. Juliana menerima diamnya itu sebagai persetujuan. Ia bangkit dan bergegas menuju motor Agung yang tak jauh dari situ. Kuncinya masih menempel di sana. Tanpa menunggu Fandi membantunya, Juliana menyalakan mesin, mengendarainya menjauh dari jembatan. Memperkirakan jarak. Fandi hanya menatapnya. Masih tak percaya. Lalu tiba-tiba Juliana memacu motor itu menuju pinggir jembatan dengan kecepatan tinggi. Mesin motor meraung dan membuat Fandi kesulitan mendengar sekelilingnya. Beberapa meter dari besi pengaman, Juliana melompat membiarkan motor itu melaju dan menabrak pembatas jembatan. Terdengar suara tubrukan yang cukup keras. Bagian depan kendaraan itu penyok. Lampunya pecah. Mesin mati. Seperti yang mereka rencanakan, siapa pun akan langsung menyimpulkan pengendara motor itu telah terlempar ke sungai.
Juliana membersihkan pakaiannya dari abu yang menempel saat ia jatuh. Lalu mendatangi Fandi dan menarik tangannya. Fandi mengikutinya berjalan di belakang. “Ayo! Beberapa jam lagi hujan abu akan menutupi jejak kaki dan ban motor. Takkan ada orang yang curiga,” katanya menuju sepeda motornya yang sudah mulai tertutupi abu. Ia menyalakan mesin. Fandi duduk di belakangnya. “Kita pergi dari sini.”
Fandi masih memandang Hantu Jendela dari balik bahu Juliana. Tak berkata apa-apa. Sebagian pikirannya masih menentang usulan itu. Bagaimana mungkin mereka kabur dari kota ini? Sebagian lagi mulai berpikir bagaimana pedihnya nasib Juliana seandainya ia dipenjara selama sekian tahun karena membunuh. Juliana tak mungkin bertanggung jawab menanggung duka kesepian itu nantinya. Tapi aku seorang pembunuh, pikir Fandi. Bola matanya masih beradu pandang dengan mata sayu Hantu Jendela. Orang tua itu tersenyum melihatnya. Seraya mengangguk kecil ia berkata: “Hidup bahagialah di tempat kalian nanti.” Fandi bahkan tak sempat mengucapkan terima kasih. Hujan abu telah memisahkannya dengan orang tua itu.
Juliana memacu motornya. Fandi seperti patung yang menoleh ke arah jembatan sampai ia tak bisa melihatnya lagi.
“Fan? Fan?” panggil Juliana saat keduanya masih bergerak di jalanan. Hampir seluruh permukaan jalan beraspal sudah tertutup abu. Juliana harus hati-hati mengendarai motornya. “Kau tak apa-apa? Jangan melamun. Berpegangan pada pinggangku.”
“Iya,” Fandi patuh. Suaranya datar. Lemah.
“Jangan takut. Kita akan pergi dari kota ini.”
Fandi diam sejenak lalu berkata: “Aku takut ini hanya akan memperburuk keadaan, Jul.”
“Semua akan baik-baik saja. Fan, dengar: kita hanya perlu segera pergi dari kota ini. Lupakan soal Agung. Kita tak tahu kalau ia berkendara saat hujan abu. Pandangannya terganggu dan membuatnya menabrak pengaman jembatan. Ia jatuh. Tewas tenggelam. Terseret arus. Sudah.”
“Bagaimana kau yakin orang tua itu tak akan lapor polisi?”